Blog Konten Islam: Bagaimana Menjadi Guru Sejati...?

Sunday 6 May 2018

Bagaimana Menjadi Guru Sejati...?

Bagaimana  MENJADI GURU SEJATI..?


BAGAIMANA    MENJADI GURU  SEJATI…?



“Guru yang mengajar dengan cinta, murid pasti akan membalasnya dengan cinta. Guru yang pandai menghargai murid, murid pasti akan menghargai ”

Sewaktu belajar di madrasah, saya pernah bertanya kepada guru yang biasa mengajar di kelas. Sang guru berusaha menjawab pertanyaan saya. Tiba-tiba matanya berkaca-kaca ia sadar penjelasannya kurang memuaskan saya.
Ia mengakui tak mampu memberi pemahaman lebih baik dari itu. Esoknya dengan penuh kasih ia gandeng tangan saya menghadap kepala madrasah yang dipandang lebih senior dan lebih mumpuni. Sang kepala sekolah pun ternyata tak mampu menjawab secara memuaskan.

Mereka berduapun memohon maaf. Pelupuk mata mereka sembab air mata. Saya benar-benar berterima kasih atas upaya tulus mereka. Saya pun melanjutkan belajar dari satu pesantren yang lain. Pertanyaan saya satu persatu kian terjawab. Makin lama makin luas dan makin dalam.

Sepulang dari pesantren dan saya pulang kampung dua gur madrasah itu mendatangi saya. Mereka masih ingat pertanyaan saya yang saya ajukan bertahun-tahun silam itu.

Kini giliran mereka minta saya menjelaskan jawabannya. “ Mereka mengangguk-angguk berterima kasih kepada saya”.
“Sekarang, masihkah ada sosok guru seperti itu..?”. tanya alm Kyai Sahal Mahfudh menutup cerita masa belajarnya dulu kepada rombongan Mendikbud saat silaturahmi untuk membahas Kurikulum 13 (K13) pada awal tahun 2016. Mantan ketua umum MUI Pusat ini sejatinya mengajak kita bercermin. Satu sisi, betapa pendidik itu perlu bertanggungjawabpenuh terhadap perkebangan anak didik.

Disisi lain  - Mahfum mukhalafah-nya betapa kecintaan pengajar terhadap anak didik kini mulai pudar. Kini lanjutnya guru kebanyakkan mulai berorientasi materi.

Baik materi dalam dalam arti transfer informasi dan pengetahuan sesuai Kurikulum  bagi muridnya maupun materi dalam arti transfer gaji dan tunjangan bagi dirinya. Dalam konteks pertama , proses pendidikan bergeser jadi sekedar pengajaran.

Dalam konteks kedua guru yang mesti “digugu” dan “ditiru” menjadi sekedar profesi yang berbasis sertifikasi. Pandangan kyai yang pernah menjabat anggota Badan Pembina Pendidikan Nasional (BPPN) semasa Mendikbud Wardiman Djojonegara itu mewakili kerisauan banyak orang.

Bukan hanya di tanah air. Profesor Svi Shaviro dari University of Carolina juga meninjau ulang situasi pendidikan di Barat terutama di Amerika. Ia menyaksikan sekolah-sekolah yang bersaing keras satu sama lain demi mencapai kualifikasi tertinggi sesuai dengan alat ukur yang ditetapkan pemerintah.

 Ruang-ruang kelas yang mirip pabrik untuk memproduksi sumber daya manusia yang akan dijual di pasar tenaga kerja : guru-guru yang sibuk mempersiapkan , melaksanakan, dan memperiksa hasil tes yang makin lama makin canggih, para siswa yang mengerahkan perhatiannya untuk lulus dalam tes-tes itu dengan ukuran dan kelulusanyang makin lama makin berat.

Orang tua yang memberikan “belajarlah yang rajin dapatkan nilai yang tinggi “ bukan lagi “Belajarlah yang rajin , jadilah orang bijak dan benar “. Intinya guru tak lagi mendidik, ia hanya mengajar. Murid tak lagi tumbuh , ia hanya menambah ilmu. Dari sekolah keluarlah orang-orang yang mengubah kearifan menjadi informasi , masyarakat menjadi pasar, agama menjadi komoditas , politik menjadi rekayasa, dan kesetiakawanan menjadi nepotisme. Itu terjadi karenapendidikan telah kehilangan jiwanya, dilepaskan dari esensinya.

Education worthy of the name is essentially educationof character, kata Martin Buber. Hasil belajar mengajar adalah engetahuan, hasilpendidikan adalah krakter. Yang penting agar anak didik lulus Ujian Sekolah, yang kedua agar mereka lulus ujian kehidupan.

Keprihatina itu pula yang kami rasakan saat merumuskan Kurikulum 2013 dulu. Arahnya adalah peningkatan kompetensi yang utuh antara pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan sikap (attitude).

Tiga hal ini yang harus dimiliki peserta didik. Ukurannya keberhasilan peserta didik dapat dilihat dari pertambahan pengetahuannya, peningkatan keterampilan dan kemuliaankepribadiannya.

Disinilah guru berperan besar. Kualitas guru wajib ditingkatkan. Selain penguasaan akademis juga perlu dikuasai guru.Paling tidak, dalam sertifikasi seorang guru harus memiliki kompetensi pedagogic, akademik (keilmuan), sosial dan kepribadian atau kepemimpinan.

Dengan terus menyempurnakan kompetensi tersebut diharapkan guru bisa berperan sebagai “role model” (pengemban keteladanan). Pendidikan dengan cara member teladan terbukti jauh lebih berkesan dan membekas dalam diri peserta didik.

‘Lisanul hal min lisanil maqal ‘ .Pakar pendidikan menyebutkan learning by doing ( mengajar dengan tindakan) dan learning bu exemple ( mengajar dengan contoh). Itulah makna lain dari kearifan local tentang guru itu digugu dan ditiru.

Pemikirannya layak digugu dan perilakunya layak ditiru. Dari cerita Kyai Sahal terbersit teladan tentang kerendahan hati, tanggung jawab, dan belajar tidak henti. Menjadi guru bukan berarti tahu segalanya.

Tak perlu berupaya dirinya tampak pintar didepan murid, tetapi berupaya mengantar murid lebih pintar dari dirinya. Saya jadi teringat sebuah riwayat dari Masruq yang menuturkan.

Kami memasuki rumah Abdullah bin Mas’ud ra dan dia berpesan,”Wahai sekalian manusia, siapa mengetahui sesuatu hendaklah dia mengatakan apa yang diketahuinya ; barang siapa yang tidak mengetahuimya maka hendaklah dia mengatakan, “Allah lebih mengetahui “ karena sesungghnya termasuk ilmu bila seseorang mengatakan , “Allah lebih mengetahui” terhadap sesuatu yang ia tidak ketahui “. (HR. Bukhari).


Selain itu, guru dituntut pandai mendengar. Apa pun pertanyaan murid – konyol ataupun super pelik – layak diperhatikan. Berdasarkan pengalaman, murid yang ceritanya sering kita dengarkan akan lebih memperhatikan apa yang kita sampaikan kepadanya.

Itu lantaran mereka merasa dihargai dan diperlakukan dengan baik. Kalau guru mengajar dengan hati, murid akan mendengarkan dengan hati pula. Guru yang mengajar dengan cinta, murid pasti akan membalasnya dengan cinta. Guru yang pandai menghargai murid , murid pasti akan menghargai guru.

Keterampilan mendengarkan itu memang tak mudah. Ia sejatinya lahir dari caring (peduli) dan empathy (empati). Dengan rasa peduli , guru berusaha memahami kondisi muridnya, dengan rasa emapti, Ia ikut serta secara emosional dan intelektual dalam pengalaman mereka. Semua ini lahir dari kompetensi non-akademis tadi.

Cukup dengan sepotong cerita, Kyai Sahal merangkum 8 sifat seorang pendidik (Mahmud Junus : 1961). Kasih sayang terhadap anak didik , lemah lembut, rendah hati, menghormati ilmu yang bukan pegangannya, adil, bersungguh-sungguh (termasuk membantu mencarikan jalan keluar atas maslah yang dihadapi murid), konsekuen (perkataan sesuai dengan perbuatan), dan sederhana.

Dan salah satu bentuk kasih sayang yang tulus – karena tak ada celah untuk riya’ adalah saling mendoakan. Seorang guru tak cukup hanya mengajar dengan baik, disela-sela keheningan malam ia mendoakan anak-anak didiknya agar ilmu yang diajarkan memberikan kemanfaatan , kemaslahatan, dan keberkahan.

Demikian pula murid tak cukup belajar dengan rajin tapi juga tak pernah lupa mendoakan guru-guru mereka agar dikaruniai kesehatan, hikmah, dan kesabaran sehingga mampu mengajar dengan baik.

Betapa indah jika hubungan cerdas dan penuh kasih sayang ini kembali ditradisikan. Betapa kita rindu guru dan murid yang sama-sama rendah hati, saling menghormati, dan saling mencintai. Hubungan guru-murid bukan sekedar hubungan lahir tapi juga hubungan batin, hubungan cinta karena Allah.

Akhirul kalam, menarik kita simak cerita David K. Hatch dalam Everyday Greatness (2007). Konon, seorang professor meneliti sebuah kampung yang sangat kumuh. Ia punya hipotesis bahwa anak yang hidup dikawasan kumuh hampir tidak ada yang akan sukes.

Mereka akan menjadi sampah masyarakat, masa depan mereka bakal terpuruk lantaran dibesarkan di lingkungan buruk. Saat dewasa , biasanya mereka kebanyakkan menikmati kehidupan di penjara.

Setelah berjalan 25 tahun , sang profesor  sosiologi terkejut meihat hasil survey yang dilakukan bersama mahasiswanya itu. Hipotesisnya meleset. Kenyataannya, anak yang tumbuh lingkungan kumuh tidak hidup sebagai kriminal dan pesakitan. Dari 190 orang yang dulu diwawancarai itu , hanya 4 orang yang masuk penjara. Semua hidup normal dan hidup berhasil diberbagai bidang.

Setelah dilakukan penelitian ulang, ternyata ada sebuah fenomena yang membuat profesor itu tersadar. Dan dia menduga pasti ada sosok dalam hidup mereka yang bisa mengubah kondisi umum ini. Dia kemudian mencari tahu siapa orang yang berhasil member inspirasi dalam hidup mereka. Hampir semua anak –anak itu sangat mengingat sosok seorang guru SMP mereka, Bu Chrysan.

Sang professor penasaran dan mendatangi BU Chrysan. Profesor itu menyanyakan apa rahasianya hingga Bu Chrysan bisa membawa perubahan hidup yang luar biasa bagi murid-muridnya , anak-anak lingkungan kumuh itu.

Sosok tua yang sederhana itu terdiam lama. Dengan senyum mengembang, ia pun menjawab, “Yang saya tahu, saya hanya mendidik mereka dengan cinta, dan saya sangat mencintai mereka “.

Begitulah. Cinta memang mampu megetarkan dan menggerakkan. Cinta – kata ulama’ klasik – bisa mengubah logam menjadi emas.

Guru yang baik hanyalah serupa bidan yang dengan penuh kasih bertugas membantu proses kelahiran “Sang Guru Sejati”, yaitu akal budi dan hati nurani setiap manusia itu sendiri.
Wallahu ‘alam Bhisawab
Tri Yudiono Publishing https://blogkontenislam.blogspot.com - 6 April 2018

Share on :

No comments:

BUKIT SINAI, SAKSI KEKUFURAN BANI ISRAEL

BUKIT SINAI,   SAKSI KEKUFURAN BANI ISRAEL Dasbor Kisah Nabi" BUKIT SINAI, SAKSI KEKUFURAN BANI ISRAEL “Selaman...