DASBOR "RAHASIA ILLAHI 2"
KE
INSYAFAN EKS PEMBUNUH
DIBAYAR NYAWA
“
Orang tua berjubah putih menatapnya dengan tajam. Matanya nanar menggambarkan
kemarahan. Ditangannya terselip sebuah cambuk yang terbuat dari buntut ikan
pari “.
Sekitar 40 tahun
yang lalu, didaerah pinggiran Tasikmalaya lahir seorang laki-laki mungil, hasil
perkawinan suami istri yang berprofesi sebagai petani. Kehadirannya disambut
dengan suka cita oleh keluarga. Apalagi posisinya sebagai anak terakhir.
Kehidupan sehari-harinya dijalami dengan riang bersama teman-temannya
sebaya lainnya. Ia paling senang bermain kelereng, sepak bola dan bermain
lodong (meriam dari bambu). Bila hari beranjak sor, ia berbgegas pulang untuk
membersihkan badan dan bersiap-siap pergi ke mushalla. Setiap hari ia melakukan
sholat magrib berjamaah dan mengaji kepada seorang ustadz bersama teman –
temannya. Rutinitas ini ia lakukan sampai menginjak usia 12 tahun atau selepas
Sekolah Dasar (SD). Orang tuanya berkeinginan agar ia melanjutkan sekolahnya ke
pesantren untuk menambah bekal keilmuan dalam bidang keagamaan. Akhirnya ia
dimasukkan ke sebuah pondok pesantren daerah Garut, Jawa Barat.
Selama 3 tahun ia digembleng dalam pondok pesantren. Disini ia juga
menempuh pendidikan formal di Madrasah Tsanawiyah selain mengaji kitab-kitab kuning
di ponpes. Selesai menempuh pendidikan, ia lantas dipindahkan orang tuanya ke
sebuah pesantren di kota Tasikmalaya untuk melanjutkan jenajnag Madrasah
Aliyah. Sayang , pendidikannya tidak bisa ditamatkan, hanya sampai kelas 2
disebabkan karena kendala ekonomi yang melilit keluarganya. Padahal selama
nyantri ia termasuk santri yang mahir dalam berceramah disetiap acara yang
diselenggarakan pondok pesantren.
Di rumah, ia bertekad membantu kedua orang tuanya untuk menggarap
sawah. Ia juga aktif dalam kegiatan-kegiatan remaja di desanya. Namun, dari
sinilah ia mulai mengenal pergaulan yang lain, tidak seperti dipondok pesantren
dahulu yang hanya mengaji. Ia merasa mendapatkan pengalaman yang lain. Ia mulai
sering begadang hingga larut malam dengan bermain gitar atau sekedar bermain
kartu remi. Lama kelamaan, karena pengaruh teman-temannya ia mulai berani
mencicipi minuman-minuman keras dan narkotika.
Pertama-tama ia selalu menolak karena hal itu dilarang oleg agama .
Namun akhirnya ia terbujuk juga dengan alasan kesetiakawanan. APa yang
diajarkan dipondok pesantren selama beberap tahun untuk saling membantu dalam
hal kebaikkan sudah terlupakan. Malah ia terperosok semakin dalam ilmu-ilmu
agama yang pernah diperolehnya ternyata tidak membawa manfaat dan pengaruh bagi
kehidupannya. Ia lepas control tidak bisa lagi membedakan mana yang boleh dan
mana yang dilarang.
Kini setiap hari mulutnya selalu berbau alcohol mata merah dan
kemana-mana selalu membawa senjata tajam. Saat malam tiba, ia bersama
teman-temannya menghabiskan waktu dengan bermain judi dan minum-minuman keras.
Kerapkali diselingi dengan bermain gitar dan tertawa terbahak-bahak yang
membuat tidur penduduk selalu terganggu setiap malam.
Tidak cukup hanya bermain judi, dan minum-minuman keras. Ujang bersama
kawan-kawannya mulai berani mengambil harta milik masyarakat. Mulanya hanya
sekedar mencuri ayamuntuk dipanggang. Tapi lama kelamaan sudah berani mencuri
TV, Motor, dan barang berharga lainnya.
Tindakan-tindakannya tentu saja membuat masyarakat resah. Masyarakat
hampir tidak percaya, Ujang yang pernah belajar dipondok pesantren dan dahulu
dikenal anak yang pendiam dan rajin sembahyang, bisa berbuat demikian. Orang
tuanya sendiri sudah berulang kali menasehati, tapi tidak dianggap dan dianggap
angin lalu.
Hari demi hari berlalu, kelakuan Ujang bersama kelompoknya semakin
sadis saja. Bahkan pernah membunuh orang yang berani melawan dan ingin mencegah
perbuatan jahatnya. Tidak ada satupun warga yang berani melawan. Masyarakat
sudah mencoba untuk meminta bantuan Kepala Desa. Badan Perwakilan Desa dan
kepolisian setempat untuk mencari jalan keluar. Sayang usaha tersebut sia-sia.
Ujang bersama kelompoknya sekan tidak tersentuh oleh hukumdan makin berani saja
melakukan aksi-aksinya meskipun disiang hari.
Kesadaran
Melalui Mimpi.
Suatu ketika, Ujang pergi ke daerah lain untuk meluaskan pengaruhnya.
Daerah tersebut masih dalam wilayah Tasikmalaya yang terletak disebelah timur
dan berbatasan dengan wilayah Jawa Tengah. Kepergiannya tentu membuat masyarakat
sangat bersyukur. Masyarakat merasa aman, tentrm dan tidak dibayangi rasa takut
dengan ulah-ulahnya si Ujang.
Di daerah yang bari, Ujang mengontrak sebuah rumah sederhana. Di daerah
inilah ia akhirnya menikah dengan wanita yang berasal dari Tasikmalaya dan
memberikan satu anak laki-laki.
Pada suatu malam, saat istri dan anaknya terlelap tidur, ia masih tetap
terjaga. Matanya sulit dipejamkan. Entah mengapa, perasaan selalu gelisah dan
terbayang kejahatan-kejahatan yang ia pernah lakukan. Ia coba menonton televise
untuk sekedar mencari hiburan dan menenangkan perasaannya. Tapi itu tidak
banyak membantu. Sekitar pukul 02 malam , akhirnya ia baru dapat tertidur
nyenyak.
Dalam tidurnya ia bermimpi didatangi seorang yang berjubah putih dengan
jenggot menjuntai. Orang tua itu memaksanya untuk ikut kesuatu tempat. Setelah
sampai ketempat yang dituju, ia disuruh mandi dan berwudhu.
“Duduklah kamu dibatu besar itu dan lafadzkan dzikir-dzikir seperti
yang dahulukamu lakukan”, jelas orang tua itu. Anehnya anehnya ia sama sekali
tidak bisa mengucapkan lafadz-;afadz dzikir yang biasa dilakukan saat
dipesantren. Seakan seluruh ingatannya tentang ilmu agama hilang sama sekali.
Orang tua berjubah putih it uterus menatapnya dengan tajam.Matanya
nanar menggambarkan kemarahan. Ditangannya telah terselip sebuah cambuk yang
terbuat dari ekor ikan pari. Melihat ia tidak mengucapkan dzikir langsung saja
cambuk itu diarahkan kebadannya. Ujang berteriak kesakitan dan menangis menahan
perih dan pedih lukanya. Namun orang tua it uterus saja mencambuk tanpa rasa
kasihan. Sekujur tubuh Ujang terluka menganga. Ia merasakan tidak sanggup lagi
untuk menahan penderitaan itu.
Setelah melihat Ujang kepayahan dan hampir sekarat, orang berjubah
menghentikan cambukkannya. Lalu berkata, “Kamu telah banyak berbuat dosa,
padahal kamu lebih tahu hokum-hukum Allah dibandingkan dengan orang lain.
Apakah kamu tidak takut dengan siksa api neraka kelak..?.
Setelah berkata demikian orang tua berjubah putih langsung hilang. Sat
itu pula Ujang terbangun dari tidurnya. Wajahnya kelihatan tegang dan seluruh
tubunya berkeringat. Anak dan istrinya terbangu karena teriakkannya merasa
kebingungan tidak tahu harus berbuat apa.
“Alhamdulilah, semua ini hanya mimpi”, Ujar Ujang menyadari kalau dirinya
baru saja bermimpi. Anak dan istrinya tidak tahu apa maksud yang dikata yang
diucapkannya Ujang. Setelah merasa tenang, ia kemudian menceritakan semua
kejadian yang baru dialami dalam mimpi.
Mendengar cerita itu, istrinya tentu gembira, Kesempatan itu
dimanfaatkan olehnya untuk menasehati suaminya. “Sudahlah kang, mulai sekarang
akang harus taubat. Kenapa lulusan pesantren menjadi garong, harusnya kan jadi
kyai.
Semenjak kejadian itu, Ujang merasa menyesal dan sedikit demi sedikit
mulai mengubah tingkah lakunya. Ia mulai rajin sholat dan melakukan dzikir
sebagai bentuk pertobatannya (Taubatan Nasuha). Namun, ia merasa ragu apakah
masyarkat mau menerimanya. Padahal selam ini ia sudah dicap sebagai penjahat
kelas kakap.
Ia kemudian mendatangi R. Endang Sutarman SK (63 thn). Kebetulan lelaki
ini memimpin sebuah lembaga masyarakat yang salah satunya kegiatannya adalah
membimbing mantan-mantan preman dan penjahat untuk diarahkan untuk kegiatan
yang positif.
Setelah mengetahui asal-usul Ujang, Pak Endang melihat bahwa Ujang
sesungguhnya memiliki potensi yang besar dalam bidang dakwah. Alasannya Ujang
pernah tinggal di pondok pesantren dan mengerti banyak tenatng ilmu-ilmu agama.
Sayang kalau potesi ini tidak dikembangkan, walupun tentunya untuk permulaan sangatlah
sulit karena masyarakat sudah terlanjur antipasti.
Ternyata, niatnya untuk taubat tidak membuatnya langsung diterima oleh
masyarakat. Kebanyakkan mereka tetap tidak percaya terhadap niat sucinya itu.
Atas bantuan lembaga yang dipimpin oleh Pak Endang sedikit demi sedikit
masyarakat mulai menerima Ujang yang beralih profesi sebagai juru Dakwah.
Meskipun begitu, komentar-komentar miring masih tetap saja datang
kepada dirinya.”Ah dia kan begitu karena takut ditangkep polisi saja…”,
demikian komentar sebagian masyarakat. Bahkan ada yang tega menyebar fitnah
bahwa ia berdakwah hanya sebagai kedok untuk memperlancar aktivitas
kejahatannya.
Hinaan dan cacian yang berat itu diterima dengan ikhlas oleh Ujang ia
sudah bertekad bertaubat dan berjihad di jalan Allah swt. Lama kelamaan
masyarakat mulai bisa menerimanya dan tidak lagi menganggapnya sebagai
penjahat.Ia berkeliling untuk memberikan ceramah dari satu tempat pengajian ke
pengajian yang lain. Dalam ceramahnya ia terkadang menyisipkan cerita tentang segala
yang pernah ia lakukan dahulu. Ia berharap masyarakat dapat mengambil hikmah
dari perjalanannya agar terhindar dari siksa Allah st di akhirat kelak.Kini,
Masyarakat didaerah itu mengenalnya sebagai Ajeungan (kyai).
Berani
Menghadapi Kematian.
Riwayat kehidupanyang
berlumur dosa, ternyata membuat sebagian orang pernah dirugikannya tetap merasa
dendam, khususnya didaerah tempat kelahirannya. Mereka kebanyakkan tidak tahu
bahwa si Ujang penjahat kelas kakap itu sudah bertobat dan sekarang telah
menjadi Kyai didaerah lain.
Suatu ketika, didaerah
kelahirannya terjadipencurian motor. Padahal sudah lama sekali tidak terjadi
kasus-kasus pencurian serupa. Penduduk resah dan bertanya-tanya siapa kira-kira
pencurinya..?. Aparat kepolisan harus berusaha dan mengidentifikasi pelakunya.
Disisi lain masyarakat yang sudah mendendam, terbakar emosinya dan langsung
mengalamatkan tuduhannya kepada Uajng. Padahal setelah ditelusuri pihak
kepolisian pelukunya bukanlah Ujang, melainkan dua orang yang masih belum
tertangkap (buron).
Sebagian masyarakat yang
dendam mengadakan rapat disalah satu rumah untuk menyiapkan scenario pembunhan.
Kebetulan, sebulan berselang setelah diadakan rapat, Ujang pergi kedesa
kelahirannya untuk keperluan menagih hutang kepada salah satu temannya.
Sebelumnya, ia telah diberitahu oleh keluarganya tentang hasil rapat tersebut
dan diminta agar mengurungkan niatnya. Namun karena merasa tidak bersalah ia
tetap bersikeras datang ketanah kelahirannya.
“Rejeki, jodoh dan maut
ada ditangan Allah swt”, ujar Ujang kepada keluarganya itu. “Saya tidak pernah
takut kepada siapapun selain kepada Allah swt. Apabila saya harus mati, saya ikhlas
karena itu merupakan kehendak-Nya. Apalagi saya bermaksud baik menagih hutang
yang termauk hak saya”.
Ternyata, hari itu memang
hari-hari terakhir dalam hidupnya. Begitu samapai didesanya, ia dibunuh secara
sadis oleh orang-orang yang dendam dan dengki terhadapnya. Menurut saksi mata
sebelum dibunuh ia sempat berkata , “Kalau kalian masih membenci saya karena
perbuatan yang pernah saya lakukan, saya rela dan mohon maaf. Tapi demi Allah
saya tidak melakukan pencurian motor yang baru terjadi itu, saya rela menebus
keinsyafan ini dengan nyawa sekalipun”.
Masyarakat banayak yang
merasa kehilangan atas kepergiannya. Mereka menilai zaman sekarang sangatlah
sedikit penjahat yang mau bertobat. Apalagi orang-orang yang mau
mendarmabaktikan hidupnya untuk kemajuan umat.
Allah swt berfirman,”Maka
barang siapa yang bertaubat (diantara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan
kejahatan dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang “. (QS.
Al-Maidah: 39)
Wallahu ‘alam
Bhisawab