“Kita diperintahkan untuk memilih yang
terbaik dari yang baik, bahkan kita menghadapi persoalan yang sama jeleknya
pun, islam tetap mendorong umatnya untuk memilih alternative yang alternative
yang paling sedikit mafsadah (kerugian atau resistensinya) jika tidak dijumpai
alternative yang lebih baik .”
Ke Dasbor "RAHASIA ILLAHI 1"
Hidup memang selalu dihadapkan pada banyak pilihan , terkadang pilihan yang dihadapi sesuai dengan harapan, namun sering kali pilihan yang dijumpai tidak sesuai dengan apa yang diinginkan. Pada saat inilah seseorang akan mengalami kekecewaan dan kebimbangan yang mengantarnya untuk tidak memilih. Akibatnya, tidak sedikit orang menghindar dan mengelak dari pilihan yang dihadapinya dan sikapnya itu justru dianggap sebagai sebuah pilihan.
Hidup memang selalu dihadapkan pada banyak pilihan , terkadang pilihan yang dihadapi sesuai dengan harapan, namun sering kali pilihan yang dijumpai tidak sesuai dengan apa yang diinginkan. Pada saat inilah seseorang akan mengalami kekecewaan dan kebimbangan yang mengantarnya untuk tidak memilih. Akibatnya, tidak sedikit orang menghindar dan mengelak dari pilihan yang dihadapinya dan sikapnya itu justru dianggap sebagai sebuah pilihan.
Dalam terminolgi agama, menentukan
pilihan sering disebut dengan Ikhtiar atau Al-Khiya. Kedua istilah ini berasal
dari bahasa Arab, yaitu dari kata Khair yang secara semantic berarti baik ini
menunjukkan bahwa kata Ikhtiar atau Khiyar berarti berusaha, memilih sesuatu
yang ter-baik. Istilah ini sering kali kita jumpai dalam redaksi ayat maupun
Hadits Nabi Muhammad saw. Bahkan didalam Al-Quran, kata Khair yang merupakan
akar kata dari dua istilah tersebut sering kali dijadikan sebagai kata
pembanding dari sesuatu yang jelek atau negative.
Secara Filosofi, hal ini menunjukkan
bahwa seseorang tidak dapat dikatakan telah melakukan Ikhtiar (berusaha) secara
maksimal dan sempurna apabila sesuatu yang menjadi pilihannya itu bukanlah pilihan
yang terbaik. Ikhtiar seharusnya memiliki makna pilihan atau usaha terbaik
seseorang sebagaimana yang dituntut dalam redaksi ayat maupun hadits nabi.
Namun, Ironisnya, dalam bahasa
percakapan kita sehari-hari Ikhtiar atau khiyar sering disinonimkan dengan kata
berusaha , bekerja, berbuat, atau melakukan sesuatu yang tidak terkait pada
makna usaha yang baik (lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia). Hal ini berbeda
denga pengertian semantic yang dikandung oleh kata Ikhtiar dan Khiyar.
Pada saat Pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden atau Pemilihan Kepala Daerah dan Wakilnya atau yang sejenisnya,
Kewjiban Ikhtiar kita (dalam pengertian yang sesungguhnya) benar-benar akan
teruji. Pada
saat inilah akan terbukti apakah kita mampu menentukan pilihan sesuai dengan
arti terminology Ikhtiar tersebut ataukah tidak. Apkah kita menentukan pilihan
hanya berdasarkan emosi, kepentingan pribadi, golongan atau keuntungan sesaat
(money politic) dengan mengorbankan kepentingan jangka panjang dan masyarakat
umum.
Pertanyaan ini menjadi sangat penting
untuk dijawab dalam bentuk tindakan nyata ketika kita dihadapkan dengan pilihan
yang sangat beragam.
Pada saat idealisme terbentur dengan
realitas, dimana antara pilihan yang dihadapi tidak sesuai dengan harapan yang
dicita-citakan, maka banyak orang yang mendengungkan sebuah “Pilihan Alterntif”
yaitu golput ( golongan putih). Golongan ini menggunakan Justifikasi bahwa
memilih merupakan hak dan bukan kewajiban. Dengan demikian , seseorang bebas
untuk tidak memilih sebagai pengejahwatahan hak pribadinya. Lalu bagaimanakah
Fuqaha ‘ (ulama’ Islam) memandang persoalan diatas!.
Hal ini penting untuk dikemukakan,
karena islam tidak hanya mengatur persoalan ibadah (mahdhah), yaitu hubungan
Vertical antara seseorang hamba dengan Tuhannya , maupun hubungan Horizontal
antara sesama sebatas hubungan muamalah yang berimplikasi pada persoalan hokum
semata, tetapi lebih jauh dari itu , silam juga membicarakan tentang persoalan
kepemimpinan (imamah) baik dalam runag lingkup yang kecil (kelompok) maupun
dalam rang lingkup besar (Negara).
Dalam Khazanah fiqih Islam , memilih
alternative yang terbaik (ikhtiar) dianggap sebagai sebuah keharusan. Karena
itulah, dalam menghadapi setiap persoalan yang berimplikasi hukum, baik
menyangkut (keselamatan) pribadi maupun orang banyak , terlebih lagi dalam
masalah kepemimpinan, islam tetap mendorong umatnya untuk menentukan piihan
dalam keadaan dan kondisi apapun juga.
Kita diperintahkan untuk memilih yang
terbaik, dari yang baik. Bahkan dalam menghadapi persoalan yang sama jeleknya
pun, Islam tetap mendorong umatnya untuk memilih alternative yang paling
sedikit mafsadah (kerugian atau resistensinya) jika tidak dijumpai alternative
yang lebih baik lagi. Dalam Islam kita tidak diperbolehkan untuk lepas tangan atau tidak
melakukan Ikhtiar dalam persolan yang sedang dihadapi. Sebab dalam fiqih Islam, kita
mendapatkan beberapa kaidah fiqhiyah yang menjelaskan persoalan tersebut, di
antaranya adalah :
“Apabila dua mafsadah (bahaya atau unsur
negative) terdapat dalam suatu persoalan, makaharus dijaga Mafsadah (unsure
negative) yang paling besar dengan memilih sesuatu yang paling kecil unsur
negativnya “.
Memang idealisme tidak selalu sejalan
dengan realita, seringkali idealisme hanya tinggal harapan tanpa ujung dan
terbentur oleh tembok penghalang yang bernama utopia.Memilih pemimpin ideal
seperti harapan banyak orang hampir merupakan sesuatu yang sangat mustahil
untuk saat ini. Namun, realitas memacam ini tidak seharusnya membuat seseorang
lantas patah semangat dan meninggalkan idealismenya dengan tidak berbuat
sesuatu.
Dalam kaidah fiqih yang sangat populer
dikatakan, “Sesuatu yang tidak bisa digapai seluruhnya, jangan ditinggalkan
semuanya:. Jadi dalam tinjauan fiqih, Golput atau tidak memilih bukanlah suatu tindakan yang
bijaksana dan bertanggungjawab terlebih lagi dengan sikap Golput yang dilakukan
seseorang yang cukup berpendidikan tersebut membuka peluang terpilihnya
seseorang atau kelompok lain yang memiliki resistensi atau nilai negative yang
jauh lebih besar karena dukungan pemilih yang irrasional yang mengedepankan
Fanatisme buta (taqlid), baik karena ketokohan maupun nasab (keturunan)
seseorang tanpa mempertimbangkan integritas kepribadian dan kapabilitasnya.
Apalagi , jika kebijakan pemerintah
terpilih (karena dukungan pemilih irrasional) tersebut dapat merugikan islam
dan kepentingan umatnya. Bila hal semacam ini terjadi, berarti seseorang telah
mengabaikan kewajibannya yang mengakibatkan munculnya mafsadah (akibat negative)
yang jauh lebih besar.
Saat ini kita bisa memilih secara
langsung dan bukan seperti membeli kucing dalam karung seperti tradisi-tradisi
pemilihan umum (pemilu) sebelumnya. Inovasi semacam ini memang belum bisa
dikatakan ideal dan masih memiliki banyak kekurangan-kekurangan, namun inilah
realita yang harus kita hadapi nanti dan akan menjadi sebuah pilihan(Ikhtiar /
Khiyar) bersama. Kekurangan yang ada hendaknya kita hadapi dengan arif dan
bijaksana sebagai sebuah keniscayaan yang selalu ada sambil tetap melakukan
Ikhtiar dan inovasi menuju kearah yang lebih baik.
Dengan melaksanakan perintah Ikhtiar
atau Khiyar ini, maka setidaknya seseorang telah berusaha menentukan pilihan yang
terbaik dari sekian alternative yang ada. Ia telah berusaha melakukan amanat
kepada orang yang lebih tepat dibandingkan dengan yang lain seraya tetap
melakukan ijtihad politik untuk menemukan formulasi yang lebih tepat dan Ideal.
Hal ini dilakukan dalam rangka
meng-Aplikasikan perintah Allah swt dan Rasul-Nya untuk selalu melakukan
inovasi dan pilihan terbaik demi kemaslahatan pribadi dan orang lain, sekaligus
untuk memilih Calon Pemimpin (bangsa/Daerah/yang sejenisnya) yang lebih amanah
seperti yang dijelaskan dalam Al-Quran & Hadits.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang lebih berhak menerimannya dan (menyuruh kamu)
apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya
Allah Maha Pendengar lagi Maha Melihat “. (QS. An-Nisa : 58).
Wallahu ‘alam Bhisawab