SAAT SAKARATUL MAUT
“ Perlahan-lahan,
, bagian muka, tangan dan badannya bermunculan bulu-bulu halus. Semakin lama,
bulu-bulu itu semakin banyak dan lebat“
Himpitan yang mendera kadang
mebuat sebagian banyak orang kehilangan akal sehatnya. Mereka sudah tidak bisa
lagi pasrah dan berserah diri kepada Tuhan atas cobaan-Nya.
Apalagi kerja keras yang
sudah dilakukan selama bertahun-tahun tidak membuahkan hasil seperti apa yang
diharapakan dan tidak membawa perubahan yang berarti secara ekonomi.
Tidak, jarang dan banyak
manusia yang tak tahu terima kasih yang akhirnya menyalahkan Tuhan karena
manakdirkan hidup dalam kemiskinan. Kondisi demikian tentunya sangat
membahayakan, terlebih iman yang menjadi benteng terakhir manusia sudah tergadaikan.
Dengan bujuk rayu setan yang
memberikan berbagai tawaran yang menggiurkan di dunia dan hakekatnya sebuah
tawaran yang sangat menjauhkan kita dari Allah dan sangat menyesatkan yang pada
akhirnya merugikan kita di akhirat.
Cerita dibawah ini
contohnya. Seorang petani yang tidak sabar dan tawakal dalam menghadapi cobaan
Tuhan memutuskan untuk mengambiljalan setan dan bersekutu dengan setan.
Kemudian, dia hidup dalam
gelimang harta dan mendapat derajat yang tinggi dimata masyarakat. Namun tragis
ia harus menebus semuanya dengan penderitaan yang amat pedih saat sakaratul
maut dan ini baru persekot di dunia.
Peristiwa ini terjadi 28
tahun yang lalu. Penulis Penulis menyamarkan semua nama-nama tokoh dan nara
sumber dalam cerita ini tidak lain dan tidak bukan hanya diniatkan untuk menjaga Muru’ah ( nama baik ) tokoh dan
keluarga yang bersangkutan.
Baca Juga " Hidayah seorang lelaki yang diperlihatkan siksa KUBUR"
Baca Juga " Hidayah seorang lelaki yang diperlihatkan siksa KUBUR"
Badannya
Berbulu dan Berekor
Sudah seminggu ini Pak Narto
(41tahun ). Ia mengeluh kalau perutnya sakit dan buang air besar terus-menerus.
Bila ia buang air besar, yang keluar bukan hanya tahi ( kotoran ), tetapi sudah
bercampur dengan darah. Warnanya hitam pekat dan anyir.
Pak Narto heran dengan
penyakit yang sedang dideritanya itu. Keluarganya sudah memanggil mantra beberapa
kali, tetapi obat yang diberikan belum juga membuat keadaan Pak Narto membaik.
Selama seminggu Pak Narto
tidak pernah keluar kamar. Bahkan mandi dan buang hajat pun dikamar dengan
dibantu istri dan anak-anaknya. Padahal kamar mandi di belakang rumahnya tidak
jauh tempatnya dari rumah.
“Waktu menengguk dengan
tetangga sempat saya menanyakan kepada Pak Narto tentang sakitnya. Ia
menjelaskan bahwa saat ia buang hajat
selalu saja mengeluarkan darah.
Kadang berampur dengan tahi
( kotoran ), tetapi lebih banyak darah yang berwarna hitam pekat. Pak Narto
juga merasakan sakit yang teramat sangat di bagian perutnya “ Jelas Bu Iroh (
44 tahun ) seorang saksi mata.
Merasa tidak nyaman dengan
dipan ( tempat tidur ) karena selalu kena darah dan ceceran kotoran , Pak Narto
meminta keluarganya untuk menggantinya dengan meja makan yang panjang.
Keluarga Pak Narto hanya
bisa menuruti semua yang menjadi keinginannya. Sekitar jam tiga pagi, tetangga
kemabali kerumah Pak Narto yang sedang Nazak ( menghadapi Sakaratul Maut ).
Sesampaniya disana tetangga
tidak diperbolehka masuk ke kamar Pak Narto. Tetangga yang penasaran dan ingin
apa yang terjadi dengan detik-detik terakhir Pak Narto ingin mengintip tetapi
selalu dihalang-halangi oleh adik Pak Narto yang bernama Bu Darsi (37 tahuan ).
“ Ojo kemeng ( jangan
melihat ). Ora pa …pa… ( idak ada apa apa)!”. Ujar Dari saat menenangkan
tetangga-tetangga yang ingin melihat kejadian itu. Dari luara tetangga hanya
bisa melihat suara Pak Narto yang meraung-raung kesakitan.
Raungan yang sangat
memilukan hati. Suaranya melengking panjang lalu merendah perlahan-lahan.
Haaaaaaaauuu……Haaaauuuu..!. Persis seperti monyet yang sedang kesakitan.
Tetangga-tetangga yang
penasaran hanya bisa bertanya-tanya apa gerangan yang sedang terjadi dengan Pak
Narto. Hari sudah siang sebentar lagi akan beranjak sore.
Penderitaan Pak Narto belum
juga berakhir. Ia masih meraung-raung kesakitan. Padahal keluarganya sudah mencoba
membimbingnya untuk mengucapkan
kalimat-kalaimat tahlil. Namun ia tetap saja meraung-raung.
Bahkan mulai terjadi
kejanggalan-kejanggalan. Tiba-tiba perlahan-lahan bagian muka, tangan dan badannya
bermunculan bulu-bulu halus. Semakin lama bulu-bulu halus itu semakin tumbuh
panjang, banyak dan lebat.
Lebih mengejutkan lagi
bagian belakan tulang ekor Pak Narto tumbuh buntut atau ekor yang semakin lama
semakin panjang “ Na’uzubillah “. Melihat kejadian itu istri dan anak-anak Pak
Narto menangis dan berterika-teriak histeris sambil lari berhamburan dari kamar.
Anak lakai-laki yang paling
tua Pak Narto tidak lama setelah keluar kamar ikuti mengalami kejang-kejang dan
kemudian tak sadarkan diri. Mungkin ia shock dan tidak tahan melihat kondisi
bapaknya yang berubah menyerupai kera ( monyet ).
“ Saat anaknya berhamburan
keluar, ibu saya sempat melongok kedalam melalui celah pintu. Waktu saya tanya,
sambil berbisik mengatakan kalau badan Pak Narto penuh bulu dan ada buntut (
ekor ) di pantatnya “ ujar ibu Iroh bercerita.
Beberapa jam kemudian
setelah jam empat sore akhirnya Pak Narto menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Tangis keluarganya yang tidak terbendung lagi.
Sebagian yang lain sibuk
menyiapkan pengurusan jenazah dan tempat pemakaman Pak. Narto. Didalam kamar
hanay tinggal empat orang, yaitu Darmo ( 43 tahun ), Bu Darsi ( 37 tahun ), dan
Pak Wito( 39 tahun ) yang merupakan adik pertama Pak Narto, selain tiga orang
itu tidak ada yang diizinkan masuk.
Tetangga yang belum tahu
peristiwa didalam, merasa curiga dan bertanya-tanya. Kenapa jenazah Pak Narto tidak
dibawa keluar untuk dimakamkan..?. Kalau pun dimandikan didalam kamar , kenapa
Bu Darsi tidak keluar, dia kan wanita…?. Bukankah itu tidak biasa..?. begitu
kiranya pertanyaan tetangga yang berada di luar kamar.
“ Dar dalam kamar terdengar
jawaban Bu Darsi “. “ Saya kan adiknya jadi tidak mengapa dan tidak
membatalakan “ kenang ibu Iroh yang waktu itu berusia 16 tahun.
Persoses pemdian selesai
jenazah Pak Narto langsng dikafani. Prosesnya tetap dilakukan didalam kamar.
Sekitar jam setengah enam sore, jenzah Pak Narto yang sudah berwujud pocong
dogotong oleh Pak Darmo dan Pak Wito menuju ruang tengah.
Selanjutnya, jenazah Pak
Narto ditutupi kain jarik yang berwarna coklat. Tida begitulama adzan Magrib
pun berkumandang dari mushalla desa. Sanak keluarga dan sebagian masyarakat
segera menunaikan sholat magrib dan akan dilanjutkan dengan sholat jenazah.
Namun saat akan melakukan
sholat jenazah banyak masyarakat yang enggan, mereka masih ragu-ragu dengan
keanehan yang terjadi dengan kematian Pak Narto.
Setelah semuanya selesai,
jenazah Pak Narto dimasukkan kedalam keranda dan diangkat secara bersama-sama
ke kebun didepan rumahnya. Jenzahak Narto tidak dikuburkan di Tempat Pemakaman
Umum ( TPU ) desa karena ditakutkan akan terjai keanehan-keanehan.
Sejak meninggalnya Pak Narto
harta kekayaan yang dahulumelimpah ruah habis perlahan-lahan. Sampai akhirnya
tidak ada lagi yang tersisa dan keluarganya kembali hidup miskin.