7 AKTIVITAS
IMAM
SYAFI’I
SAAT REMAJA
Imam
Syafi’i yang dilahirkan
di Paletina tahun 150 H adalah seorang imam yang agung pendiri mazhab Syafi’i, mazhab fiqih yang paling
banyak dianut di Indonesia. Untuk mencapai kedudukannya yang luar biasa itu ,
beliau menghabiskan waktu kecil , remaja dan mudanya dengan banyak membaca Al-Quran
menghafalnya menuntut ilmu dan belajar berbagai keterampilan.
Untuk lebih jelasnya ini
gambaran Imam Syafi’i yang agung saat masih kecil dan
remaja :
1.
Masa Kecil yang penuh kemiskinan.
Sejak kecil Imam Syafi’i hidup dalam kemiskinan. Kedua orang tuanya adalah pendatang
ditanah Palestina , karena hampir seluruh keluarga besarnya tinggal I Mekkah.
Sedihnya pada saat Syafi’i berumur 1 tahun ayahnya meninggal. Jadi Syafi’i kecil hidup yatim hanya bersama
ibunya dalam kemiskinan. Walaupun miskin, ibu Syafi’i tidak pernah menyuruh anaknya untuk pergi ke pasar
berjualan seperti anak miskin lainnya.
Ibu yang luar biasa ini justru menyuruh
Syafi’i kecil untuk belajar, belajar
dab belajar.
2. Anak yang Matang & Cerdas
Akhirnya Syafi’i kecil dibawa ibunya ke Mekkah untuk belajar Al-Quran an
menulis layaknya anak-anak saat mulai belajar ( sekaligus berkumpul dengan
keluarga besarnya ). Karena prihatin, ketika anak lain sudah punya alat tulis ,
Syafi’i kecil tidak punya apa-apa.
Setiap perjalanan menuju Masjidil
Haramuntuk belajar, dipungutlah tulang-tulang berserakkan untuk dijadikan alat
tulis. Namun , karena Syafi’i memang
anak yang cerdas setiap pelajaran yang disampaikan oleh gurunya dengan mudah
dihafalkannya diluar kepala.
Baca juga>>>" Perjalanai Ruhani Al-Ghazali yang Meninspirasi "
Baca juga>>>" Perjalanai Ruhani Al-Ghazali yang Meninspirasi "
Suatu hari guru Syafi’i terlambat datang, ke majelisnya dengan nekad Syafi’i berdiri menggantikan gurunya
mengajar anak-anak yang lain. Sejak itu sang guru tahu bahwa Syafi’i bukan anak biasa.
Ia pun mulai memperhatikan Syafi’i dan memutuskan untuk
membebaskan dari biaya pendidikan asalkan Syafi’i
mau mengajarkan anak-anak jika ia terlamabat atau berhalangan hadir.
“ Saat membaca buku , aku mendengar
guruku tengah mengajari seorang anak tentang ayat-ayat Al-Quran. Aku pun mulai
menghafalnya. Ketika guru selesai mendiktekan semua ayat untuk urid-muridnya,
biasanya aku udah menghafalnya terlebih dahulu ”.
Atas kecerdasannya itu, Syafi’i kecilpun dibebaskan dari biaya
pendidikan. “ Tak layak aku memungut
bayaran darimu sepeserpun darimu “ ujar gurunya saat itu.
Hal it uterus berlangsung saat Syafi’i menghafal seluruh Al-Quran ,
padahal ketika itu ia baru menginjak usia tujuh tahun.
3. Masa Remaja Tanpa Gejolak Pubertas
Setelah rampung menghafal Al-Quran , Syafi’i mulai tertarik menghafal
Hadits. Antusiasnya terhadap hadits sangat tinggi. Saking banyaknya ia
mendengarkan para Muhaddits menyampaikan hadits, dengan hanya mendengar. Kadang
ia menuliskannya diatas tembikar atau kulit.
Ia biasa pergi ke perpustakaan tempat
catatan-catatan dan manuskrip-manuskrip disimpan. Disana ia meminta beberapa
lembar manuskrip dan menulis catatan di bagian yang belum ada catatannya.
Pada fase ini (10 tahun ) ia berhasil
menghafal Al – Muwaththa’ karya Imam Malik, bahkan ia sebelum bertemu dengan
Imam Malik. Karena kesenangannya pada ilmu, masa muda Syafi’i hampir dihabiskan dengan membaca, menulis dan menghafal.
Ia belum pernah menikmati masa remaja (muda
) atau mengalami gejolak pubertas seperti kebanyakkan anak seusianya.
4. Senang Menulis
Pada masa-masa menuntut ilmu, Syafi’i kecil dan remaja juga rajin
mencatat dan menulis apa yang disampaikan oleh guru-gurunya. Atas kebiasaan menulisnya ini, beliau
mencatatnya dalam satu bait syair yang dibuatnya “ Ilmu bak buruan dan catatan adalah pengikatnya. Ikatlah
buruanmu dengan tali yang kuat . Sungguh bodoh jika kau berhasil memburu rusa.
Namun kau biarkan terlepas di tengah makhluk lain “.
Imam Syafi’i menjelaskan bahwa nilai manusia terletak pada ilmunya bukan
pada pakaian dan penampilannya.
Ia berkata “ Aku mengenakan pakaian dan jika semuanya
aku jual niscahya akan menhasilkan uang
yanga banyak. Dalam pakaian itu ada satu napas jika dibandingkan dengan
napas-napas orang yang berpenyakit paru-paru maka ia lebih besar. Merusak
sarung pedang tak akan merusak ketajaman pedangnya. Meski pedang itu patah
sepanjang sarungnya “.
5. Belajar Syair, Sejarah dan Latihan
Militer
Tentang hal ini Syafi’i bertutur, “ Aku mengembara ke Mekkah. Disana akau menetap di dusun Bani Hudzail
untuk mempelajari bahasa dan adat istiadat mereka.
Bani Hudzail adalah suku Arab yang
bahasanya paling fasih. Aku selalu turut serta dalam setiap pengembaraan mereka
, kemana saja. Ketika kemabali ke Mekkah, akupun mulai mahir melantunkan
syair-syair, mengurut nasab-nasab, dan menyampaikan sejarah atau berita-berita
bangsa terdahulu”.
Al-Ashmu’I , perwi beragam peninggalan
sastra jahiliah dan islam, menuturkan, “ Aku men-tashhih sayir-syair Hudzail di
tengah seorang pemuda Quraisy, Muhammad bin Idris “
Selain belajar sastra dan sejarah, saat
remaja Syafi’i juga belejar
ketangkasan perang teknik memanah dan ia
sangat menyukainya hingga sangat piawai dalam melakukannya.
Bahkan jika ia melesatkan 10 anak panah
, tak satupun meleset dari sasaran.
Suatu hari Imam Syafi’i pernah berkata kepada murid-muridnya , “ Hobiku ada dua
memanah dan menuntut ilmu. Dibidang teknik memanah aku sangat mahir. Setiap
sepuluh anak panah yang aku luncurkan, seuanya tepat sasaran.”
Namun, dibidang ilmu , Imam Syafi’i terdiam lantas para
murid-muridnya berkata “ Demi Allah , dibidang ilmu kemampuanmu lebih hebat
daripada kemampuanmu dalam memanah.
6. Penunggang Kuda yang Tak Tertandingi
Diantara ketrmapilan lain yang
dipelajari Imam Syafi’i saat remaja
adalah teknik menunggang kuda. Tak heran
jika Imam Syafi’i menjadi seorang
penunggang kuda yang tak tertandingi saat ia tumbuh dewasa.
Al Rabi menuturkan , “ Syafi’i adalah orang yang paling berani
dan paling mahir dalam menunggang kuda. Saat menunggang kuda ia bisa memegang
telinganya sendiri denga satu tangan, sementara tangan yang satu lagi memegang
telinga kudanya. Dan kuda itu terus berlari kencang.
7. Belajar Fikih kepada Imam Malik
Setelah mahir berbagai keterampilan
diatas, Imam Syafi’i kembali ke
Mekkah. “ Setelah kembali ke Mekkah aku sering melantunkan syair-syair, sastra
dan berita-berita Arab terdahulu “. Sayfi’I kala itu.
Namun, seorang laki-laki dari Bani
Zubair, masih keluarga Imam Syafi’i,
berkata kepadanya “ Wahai Abu
Abdullah , aku sangat menyayangkan jika kefasihan bahasa dan kecerdasanmu ini
tidak disertai dengan Iman Fiqih. Dengan Fiqih kau akan memimpin generasi
zamanmu “.
Syafi’i lalu berkata,” kalau begitu, siapa
yang harus kutuju untuk belajar..?. “ Malik bin Anas pemuka kaum Muslimin”
Jawabnya.
Syafi’i kembali menuturkan “ Muncul keinginan
untuk belajar fiqih hatiku. Akupun segera mencari kitab al-Muwaththa”. Kitab itu akhirnya ku pinjam seseorang di
Mekkah.
Aku langsung menghafalnya dalam Sembilan
malam. Selain itu, aku berangkat menemui Gubernur Mekkah. Darinya aku megambil
dua puck surat rekomendasi satu ditujukan kepada Malik bin Anas “.
Syafi’i muda pun akhirnya berangkat ke Madinah
untuk belajar fiqih kepada Imam Malik bin Anas. Saat itu usianya sekitar 20
tahun. Sejak itulah ia resmi menjadi murid kesayangannya dan kelak akan menjadi
Imam yang agung, ilmunya menyinari seluruh dunia hingga sekarang dan akhir
zaman.
Sebagai catatan akhir , sebelumnya
telah dijelaskan bahwa pada usia 10 tahun Syafi’i
telah menghafala Imam Syafi’i. Namun
perkataan Imam Syafi’i diatas
seolah-olah membalikkan fakta tersebut.
Dari sini saya punya asumsi ( wallahu a’lam
) bahwa di usia 10 tahun memang benar Syafi’i
telah menghafal Imam Syafi’i Namun
seiring wakru ada beberap hafalnnya itu yang hilang dari ingatan.
Akhirnya ketika usianya 20 tahun saat
mau belajar ke Imam Malik , Syafi’i kembali
menghaflnya untuk mengingat-ingat. Akhirnya hafalnnya pun mantap. Demikian
asumsi saya dan asumsi ini bisa benar bisa juga salah.
Demikian gambaran sekilas tentang Imam Syafi’i di masa remaja dan mudanya.
Waktunya banyak ihabiskan dengan belajar dan menuntut ilmu. Meski begitu,
beliau juga belajar beberapa keterampilan yang membuatnya sangat mahir dibidang
itu.
Dari kisah beliau ini kita banyak
belajar bahwa untuk menjadi sukses harus bersungguh-sungguh , bertakwa kepada
Allah dan menjauhkan maksiat.
Semoga banyak remaja dan anak-anak muda
yang terinspirasi dari kisah ini. ( dari berbagai sumber )
Wallahu ‘alam Bhisawab