Muhammad Natsir
Mohammad Natsir memang unik dan luar biasa. Ia kerap bersebrangan pendapat dengan lawannya, tapi tetap santun dan bersahaja dalam keseharian.
Di meja sidang, ia sering beradu mulut bahkan emosional hingga memeprlihatkan
permusuhan yang tajam. Diluar sidang, suasana cair justru ia ciptakan. Oleh
karena itu ia disegani oleh banyak orang dan pelbagai kalangan.
Sebagai putra bangsa, Natsir merupakan pejuang yang ulet
mempertahankan prinsip dan idiologinya. Ia tak gentar sedikitpun berhadapan
dengan pucuk penguasa demi memperjuangkan prinsip-prinsip perjuangannya.
Tak mengherankan jika sikapnya terkadang berakibat pada intimidasi dan
perlakuan sewenang-wenang terhadap dirinya. Sikap konsisten Natsir terhadap
idiologi yang digenggamnya antara lain disebabkan rasa jengkel Natsir kepada pemerintah Soekarno yang dinilai lebih
dekat dengan PKI dengan kecenderungan kepemimpinan nasional yang semakin
otoriter.
Partai Masyumi yang didirikannya diberangus oleh Soekarno. Demikian pula
saat terlibat dalam Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), ruang
gerak Natsir dipersulit hingga akhirnya ia dijebloskan kedalam penjara.
Setelah masa Orde Lama selesai , Natsir sebenarnya berharap Orde Baru
bisa lebih baik. Artinya , Ia ingin penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada
masa sebelumnya bisa diluruskan. Sayang , era Orde Baru pun akhirnya
menampakkan sangarnya pada masa 80-an.
Terlebih setelah Natsir dan kawan-kawan yang tergabung dalam Lembaga
Kesadaran Berkonstitusi turut menandatangani Petisi 50 pada 5 Mei 1980, yang
lahir atas keprihatinan mereka terhadap kondisi bangsa yang carut marut dan
pemerintahan yang otoriter.
Natsir dan teman-teman Petisi 50-annya kembali
mendapatkan perlakuan tidak adil , dicekal. Ironis memang perlakuan yang
diterima Natsir ditengah kemerdekaan yang semestinya menghargai beda pendapat.
Sikap tidak demokratis justru ditunjukkan oleh pemerintah , entah itu dimasa
Soekarno maupun di masa Soeharto.
Terlepas dari semua itu, dikalangan umat islam, Natsir dikenal sebagai
sosok pemikir, da’i, politisi, sekaligus pendidik islam terkemuka. Sebagai tokoh
ia tidak hanya masyur ditingkat nasional (Indonesia) , tapi juga skala
Internasional (luar negeri)
Pendidikan
Natsir
Masakecil Natsir tak seindah bayangan orang.Ia lahir dari keluarga
sederhana yang taat beribadah. Ibunya bernama Khadijah dan ayahnya Moh.
Idris Sutan Saripado Semangat
mengaji sudah tumbuh di dirinya sejak kecil. Semasa kecil, hidupnya sering
berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Ia mengikuti langkah
ayahnya yang bekerja sebagai pegawai kolonial Belanda.
Malahan di usia 7-8 thn, sekolah Natsir kurang menentu. Dari tempat
kelahirannya, Alahan Panjang, ia pindah ke Maninjau, Kabupaten Agama, Sumatra
Barat. Di Maninjau, ia belajar di sekolah rakyat berbahasa Indonesia, di Jawa
dikenal sekolah Ongko Loro.
Setelah itu Natsir ke HIS ( Holand Inlander
School/Sekolah Rakyat ) , namun hanya beberapa bulan saja. Selanjutnya, Natsir
sekolah kelas II HIS Solo.Ia dititipkan dirumah Haji Musa, seorang saudagar.Di
tempat ini Natsir belajar bahasa Arab
dan mengaji fiqih. Siang hari, ia belajar di HIS , sorenya di Madrasah
dan malam mengaji Al-Quran. Tiga tahun ia tinggal bersama haji Musa.
Tapi kakak Natsir , Uni Rabiah, mengajak
Natsir kembali ke padang. Ia diterima di kelas V HIS. Setelah lulus Natsir
melanjutkan ke MULO ( Meer Uitgebraid Lager Onderwijs/Setingkat SMP) Padang.
Disini ia duduk berdampingan dengan murid-murid Belanda.
Lulus dari MULO , pada tahun 1927, Natsir melanjutkan di AMS ( Algemene
Middlebare School/setingkat SMU) Bandung yang tergolong elite. Natsir termasuk
beruntung karena mendapatkan Beasiswa. Tiap hari sepulang sekolah ia intens
datang ke perpustakaan Gedung Sate untuk membaca buku-buku.
Walau Natsir mengenyam pendidikan barat , semangat menuntut ilmu agamanya
terus menggebu-gebu dan kian ia perdalam. Natsir muda sesungguhnya kutu buku.
Ia melahap buku-buku filsafat barat, sejarah, sastra dan rajin mengikuti berita
internasional dari berbagai jurnal.
Bahkan Natsir juga merajang habis buku-buku Snouck Hurgronje , diantaranya adalah Netherland en de Islam, yang
memaparkan strategi Hurgronje menghadapi islam Buku ini pula yang memotivasi
Natsir untuk melawan Belanda melalui pendidikan.
TERJUN KE KANCAH POLITIK
Hidup dalam didikan sekolah Belanda membuat Natsir tahu persis dampak
buruk penjajahan. Jiwanya bergolak ia mulai tertarik terjun ke kancah politik.
Apalagi setelah bertemu dan sering berdiskusi dengan A. Hassan , lelaki keturunan India asal Singapapura yang kemudian
menjadi ahli agama di Persatuan Islam.
Natsir juga masuk di JIB (
Jong Islamiten Bond ) cabang Bandung. JIB didirikan oleh Haji Agus Salim dan Wiwoho
Purbohadijoyo. Natsir mulai berkenalan dengan banya tokoh, seperti : Moh. Roem, Prawoto Mangkusasmito, dan Kasman Singodimejo, yang kemudian
menjadi tokoh politik masyumi.
Di tempat ini pula ia bertemu gadis Nur Nahar yang nantinya menjadi pendamping hidupnya. Sebagai aktivis
politik Natsir rajin berinteraksi dengan tokoh penggerak waktu itu. Ia pun
mendengar pidato Soekarno. Juga pada rapat umum Partai Nasional Indonesia yang
diselenggarakan 17 Oktober 1929 di Bandung.
Soekarno mengundang para
pemimpin organisasi islam yang ada di Bandung. Natsir tak sependapat dengan
Soekarno soal memandang memandang islam. Pemikiran-pemikiran Natsir seputar
islam sendiri kerap dimuat dimajalah bulanan Pembela Islam. Dalam
tulisan-tulisannya Natsir, memperjuangkan dasar Negara berdasarkan system islam,
karena Negara tidak bisa dipisahkan dengan agama.
Ia sangat anti dengan sekulerisme, hal ini dikuatkan
dengan artikel dengan judul “ Kebangsaan Muslim “, dimana tulisan ini merupakan
reaksi atas penghinaan kaum nasionalis terhadap islam yang menggemparkan hingga
“Pembela Islam” disebut sebagai “Pembelah islam”.
Kendati mengkritik tajam Natsir tetap membela Soekarno saat diadili pemerintah kolonial Belanda sebelum dibuang ke ende. Keduanya bersahabat baik. Akan tetapi
hubungan Natsir dengan Presiden Soekarno kembali memanas setelah rencana
Soekarno yang akan membubarkan Uni Indonesia Belanda ditolak oleh 12 menteri.
Hanya 3 menteri yang mendukung gagasannya.
Natsir-Perdana menteri waktu itu meminta masalah pembubaran Uni
Indonesia Belanda dilakukan melalui konfrensi para menteri, bukan melalui
pidato Presiden secara sepihak. Persetruan kian menjadi. Dan puncaknya, Natsir
menyerahkan mandatnya sebagai perdana menteri karena kabinetnya terus direcoki
Partai Nasional Indonesia di parlemen.
Setelah tak berada di
eksekutif Natsir mencurahkan waktunya di partai Masyumi dan parlemen. Pada
pemilu 1955, Masyumi menduduki peringkat 2 dibawah Partai Nasional Indonesia,
diikuti paratai Nadhatul Ulama dan Partai Komunis Indonesia. Presiden Soekarno
mengusulkan dibentuk Kabinet Kaki Empat Masyumi menolak Karas bersebrangan
secara politik dengan Partai Komunis Indonesia. Natsir mengungkapkan sejumlah
dalil Islam yang menyebutkan Komunis bertentangan dengan Al-Quran dan hadits.
Disaat bersamaan, kesadaran
akan bahaya komunis di Indonesia menguat Kekhawatiran makin bertambah tatkala
Pemilihan Daerah di Jawa Pada Juni – Agustus 1957, PKI mengungguli semua Partai
lain Partai-partai anti Komunis seperti
Masyumi dan PSI mempertaruhkan semua kekuatan untuk menghambat PKI.
Tapi dimata Soekarno Partai Masyumi dan PSI merupakan antek barat padahal
bagi kedua partai itu keberpihakan mereka pada barat adalah strategi untuk
menghambat berkuasanya PKI di Indonesia. Situasi Jakarta semakin tidak menentu tatkala pemerinth Soekarno memaksakan paham
Nasakom ( Nasionalisme, Agama,Komunisme )
Keterlibatan
dengan PRRI memaksa Natsir dan keluarga meninggalkan, Jakarta setelah
memanasnya konflik politik dengan pemerintah Soekarno. Demikian pula dengan
teman seperjuangan mereka, seperti Sjafoedin Prawiranegara, Burhanudin beserta
keluarga. Tetapi dipadang pun, Pergerakkan Natsir dan teman-temannya tetap
diincar oleh pemerintah.
Sehingga Natsir memindahkan markas PRRI dari padang ke pedalaman. Keluarga Natsir ditampung oleh
aktivis masyumi, Buya H. Jusuf paman Buya Hamka di Maninaju. Tetapi setahun
kemudian tempat persembunyian mereka diketahui oleh tentara Jakarta. Natsir dan
teman-teman perjuangannya beserta dan keluarganya mencari tempat yang lebih
aman, berpindah dari satu tempat ketempat lain, tak terkecuali di hutan.
Tiga setengah tahun setelah meninggalkan Jakarta , pada
Agustus 1961 melalui siaran radio pemerintah meminta para tokoh PRRI menyerah.
Natsir pun menyerah setelah semua teman-temannya menyerahkan diri terlebih
dahulu.
PENDIDIKAN DAN DAKWAH
Setelah
Pergerakkan PRRI habis, Natsir mendekam didalam penjara selama 4 tahun
(1961-1965), tepatnya di Wisma keagungan, rumah tahanan di daerah kota Jakarta.
Bigitu keluar dari penjara, awalnya Natsir ingin menghidupkan lagi Masyumi,
partai yang berdiri pada tahun 1945 dan dibubarkan oleh Soekarno 15 tahun kemudian.
Namun ide tersebut ditolak oleh pemerintah Soeharto . Bahkan Soeharto
menolak para pemimpin Masyumi memimpin partai yang baru didirikan, yaitu
parmusi ( Partai Muslimin Indonesia ). Natsir kemudian menyingkir dari dunia
Politik, dan selanjutnya kembali focus di dunia dakwah dan pendidikan.
Ini ditandai dengan aktivitasnya di Dewan Dakwah pada 1967 melalui
organisasi ini, ia menyerukan pentingnya membangun system, mutu dan teknik
dakwah islam. Selain itu ia pun perlu merumuskan program kerja melatih mubaligh
membuat riset penyokong dakwah serta menyediakan berbagai buku, majalah dan brosur
untuk membekali juru dakwah ilmu keagaman serta ilmu pengetahuan umum.
Dewan dakwah membangun strategi dakwah disemua lini, termasuk sekolah,
kampus,pesantren dan daerah terpencildi Indonesia.Natsir ingin Dewan Dakwah
menggarap lapangan dakwah yang tidak dikerjakan Nadhatul Ulama, Muhammadiyah,
dan Persatuan Islam.
Natsir
punya modal penting untuk mewujudkan gagasan terebut, karena di kancah
Internasional, kiprah Natsir didunia dakwah juga terbilang tidak sedikit. Ia
pernah memimpin sidang Konggres Islam
Dunia di Damaskus Suriah (1957), wakil presiden Muktamar Alam Islami yang
bermarkas di Karachi ,Pakistan (1967), anggota World Muslim League. Mekkah,
Arab Saudi(1969).
Setelah itu Natsir pun
pernah menjadi anggota Dewan Masjid Sedunia yang berpusat di Mekkah pda tahun
1980, ia mendapat penghargaan dari Raja Faisal dari Arab Saudi karena berjasa
pada Islam.
Pada 1985, ia menjadi anggota
Dewan Pendidikan The International Islamic Charitable Foundation, Kuwait.
Setahun kemudian, ia menjadi anggota Dewan Pendiri The Oxford Centre For
Islamic Studies, London Inggris, dan anggota Majelis Umana International
Islamic University, Islamabad Pakistan.
Sementara itu dibidang pendidikan Natsir pun merupakan salah satu
penggagas lahirnya perguruan tinggi swasta islam yang pertama di Indonesia.
Bahkan Jauh-jauh hari pada 17 Juni 1934, Natsir menyampaikan pidatonya dalam
rapat kaum muslimin bahwamaju atau mundurnya suatu kaum tergantung sebagian
besar pada pelajaran dan pendidikan yang berlaku dalam kalangan mereka.
Natsir juga menyoroti sistim pendidikan ala Barat.
Menurutnya, sistim pendidikan yang diberikan pada masa penjajahan belanda
semata-mata untuk mencuci otak semata. Natsir menilai jiwa murid tetap kosong.
Disisi lain pendidikan di pesantren dan madrasah bisa menghasilkan orang-orang
yang berakhlaq baik, tapi sayangnya mereka buta terhadap perkembangan dunia.
Nah dua hal penting inilah yang menjadi pemikiran Natsir. Kepedulian
Natsir di bidang pendidikan ini kemudian dibuktikan dengan upayanya mendirikan
sejumlah Universitas islam Indonesia. Universitas Islam Bandung, Universitas
Sumatra, Universitas Riau, Universitas Ibnu Khaldun Bogor, dan sebagainya.
PENUTUP
Pada Februari 1993 , Natsir
telah kembali kepangkuan Allah swt. Ia meninggalkan 5 orang anak : Siti
Muchliesah, Asma Faridah, Hasna Faizah, Aisyatul Asriah, dan Fauzie Natsir.
Tepat pada 17 Juli 2008 lalu genap seribu tahun kelahirannya. Meski ia telah
tiada kontribusinya terhadap Negara, agama, dunia pendidikan, serta dakwah
tetap melekat dikenang sepanjang masa.
(H/Sumber: Majalah Tempo, 20 Juli 2008 )