“Dialah perempuan yang beribadah dengan
buku. Keterbatasan ekonomi, ternyata bukan penghalang baginya untuk mencintai
buku dan menebar virus kebaikkan , menolong sesama. Ia sangat senang bila
buku-buku yang dikumpulkannya selama bertahun-tahun itu dibaca orang”.
Tak ada
tujuan dibalik kiprah mulia itu selain ingin melakukan perubahan dan membangun
kehidupan yang gemilang bagi masa depan anak-anak di desa Pemagarsari, Parung
dan sekitarnya agar gemar membaca. Perjuangan itulah yang diemban Kiswanti selama belasan tahun. Ia berjuang mengajak
anak-anak warga sekitar agar mencintai buku.
Kini, kiprah kiprah Kiswanti ini
berhasil ; anak-anak diparung itu menyukai membaca buku. Dari sanalah,
dirumahnya kini berdiri tempat belajar bagi anak-anak usia dini(PAUD), SD,SMP, dana
SMA. Buku buku yang ia kumpulkan bertahun-tahun pun sudah menjadi taman bacaan
Warabal. Tapi, dibalik semua itu dulu Kiswanti membangun dengan jerih payah.
Putus Sekolah, Tapi Gemar Membaca
Lahir disebuah kampung di Bantul,
Yogyakarta, 4 Desember 1965, ia tergolong anak yang kurang beruntung. Keinginan
terus sekolah harus kandas oleh kondisi ekonomo keluarganya yang pada akhirnya
harus memaksa Kiswanti kecil tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih
tinggi setelah lulus dari Sekolah Dasar. Meski demikian, sang ayah menanamkan
jiwa membaca sejak kecil pada Kiswanti muali usia 5 tahun.
Baca Juga "Meluruskan Makna Zuhud"
Baca Juga "Meluruskan Makna Zuhud"
”Bapak saya ini itu bukanlah orang yang
setiap minggu atau bulan dapat gaji, karena bakap saya itu seorang penarik
becak. Tapi Bapak itu orang pertama yang mengenalkan saya gembar membaca dan
cinta buku.Saat saya berusia 5 atau 6 tahun , ia menggunting huruf-huruf
dikoran kemudian mengajarkan bagaimana cara membaca dari guntingan Koran itu”,
Kisah Kiswanti.
Saat temen-temen sebaya masuk SD,
Kiswantipun meminta sekolah. “Waktu itu yang membuat saya bertekad sekolah ,
karena saya ingin saya bisa masuk TV , ikut cerdas cermat. Jika tidak sekolah,
tidak mungkin ada kesempatan masuk TV.
Itulah yang membuat saya gemar membaca …
kata Kiswanti. Tetapi cita-cita itu kandas. Bahkan setelah lulus SD, dengan
getir ia mendengar permintaan maaf sang ayah. “Tahun 1980, saya lulus SD.
Dengan berat Bapak meminta maaf karena tidak bisa membiayai saya masuk SMP.
Tapi bapak berpesan jika ingin pinter kau banyak-banyak baca buku.. Pulang
bekerja , bapak membelikan buku atau Koran bekas, kenangnya pilu.
Sang ayah tidak ingkar janji , ia
membelikan buku-buku buat Kiswanti. Meski tak bisa melanjutkan ke SMP , minat
Kiswanti pada buku tak pupus. Bahkan ia mulaimengoleksi buku. Akhirnya tahun
1987, ia mulai merantau ke Jakarta bekerja sebagai pembantu rumah tangga agar
bisa beli buku. “Orang tua sempat melarang” Saya tak diizinkan. Dimata orang
tua , semiskin-miskin kita masih ada pekerjaan lain selain itu. Tapi , saya
beralasan , itu pilihan aman dan terlindungi. Disisi lain, saya yang lulusan SD
tak mungkin bisa kerja di pabrik. Kebetulan niat kerja di Jakarta itu untuk
menambah koleksi buku , dan majikan saya kebetulan memiliki koleksi buku
banyak.
Saya sempat mengajukan untuk tak digaji
engan uang, melainkan dengan buku. Itu karena saya ingin menambah buku saya
yang waktu itu sudah mencapai 1500 buku. Tetapi majikan saya menolak, dan tetap
menggaji saya dengan uang, kisah Kiswanti.
Tiga bulan kemudian, Kiswanti pun
menerima gaji, sebagaimana niat awal kerja untuk menambah koleksi buku maka
hasil kerja 3 bulan sebesar 120.000 ia belikan buku. Dari situlah , ia terus
mengoleksi buku dan jumlah buku yang ia miliki terus bertambah.
Sekitar
tahun 1998 , Kiswanti pindah ke Parung. Waktu itu, Parung masih sepi tak jauh
beda dengan suasan Kampung halamannya. Tak tak sedikit anak-anak bermain kurang
pengarahan , karena orang tuanya bekerja. Tapi yang lebih memeperihatikan di mata
Kiswanti adalah anak-anak usia 5-6 tahun yang kerap berselisih dengan umpatan
kata-kata kotor dan tidak senonoh Kiswanti mengelus dada.
Saya
tak menyalahkan kenapa itu terjadi , tetapi saya berusaha mencari itu
terjadi..?. Saya tak mungkin mengubah itu seperti membalik telapak tangan. Maka
saya mengajak anak-anak itu bermain dan disaat bermain itu, mereka senang. Tapi
kemudian saya menerapkan syarat-syarat bagi mereka yang ingin bermain dengan
saya tak boleh mengucapkan kata-kata lu, gua, isi kebon binatang, isi toile dan
sejenisnya.
Ada
beberapa peraturan seperti itu, dan saat mereka terkondisikan dan senang saya
mulai memperkenalkan buku dengan cara bercerita. Tetapi, cerita dari buku
bacaan itu tidak saya selesaikan karena saya ingin tahu ; apakah ada minat baca
dalam diri anak-anak itu..?” ujar Kiswanti yang oleh anak-anak dipanggil Bude.
Perjuangan
mengajak anak-anak bermain untuk menanamkan minat baca itu berjalan kurang
lebih 4 tahun. Setelah enam tahun para wargapun mulai menyadari peran Kiswanti
dan buku yang dimilikinya. Tentu saja hal itu membuat Kiswanti ingin merambah
wilayah lebih jauh. Maka, niat mengajak orang-orang yang jauhpun menjadikan
Kiswanti harus keiling kampung dengan sepeda Onthel seraya menjua jamu.
“Karena
saya ini ingin orang yang jauh dari saya tahu tentang keberadaan saya dan buku,
maka saya mengayuh sepeda onthel menawarkan buku-buku saya untuk dipinjam
dengan geratis. Kebetulan orang tua itu tua saya pedagang jamu dan saya hanya
bisa meracik kunyit asem. Akhirnya saya berkeliling bersepeda menjual jamu dan
menawarkan kepada orang-orang untk membaca buku-buku yang saya bawa . Maka
setiap kali saya keliling itu, saya menawarkan jamu dan buku. Siapa yang ingin
sehat minum jamu..?. Siapa yang ingin pintar baca buku..?. Uang dari kalian
membeli jamu , bisa saya belikan buku-buku baru dan kalian pinjam kembali. Itu
satu-satunya jalan untuk menambah koleksi buku saya, kisah Kiswanti saata masih
keliling menawarkan pinjaman buku kepada
warga Parung.
Warabal dan Tempat Belajat
Kini,
koleksi-koleksi buku bisa dinikmati warga Parung. Sebidang ruangan pun menjadi
Taman Bacaan yang diberi nama Warabal. Taman Bacaan yang dirintis Kiswanti
inipun tidak hanya menjadi tempat belajar, namun lantaran keterbatasan ruang,
sedang animo masyarakat tak terbendung , tempat belajar pun kurang memadai.
Bahkan Kiswanti merelakan ruang tamunya untuk menjadi tempat ruang Komputer.
Demikianlah
kiprah dan perjuangan tak kenal lelah Kiswanti. Dalam keterbatasan , ia tetap
berjuang meminjamkan buku-buku harta berharga yang ia miliki saya mau sedekah
uang namun kebutuhan saya hanya cukup untuk kami sekeluarga, ingin sedekah
senyum sedang saya dikasih wajah begini oleh Allah. Ya saya syukuri tapi belum
tentu semua orang menerima senyum saya meski senyum saya berusaha tersenyum
ikhlas.
Sementara
saya punya banayak buku , karena itu saya ingin mengajak mereka membaca buku
saya dengan geratis. Saya meminjamkan buku geratis bisa dimasukkan dalam
Katagori beribadah, jelas Kiswanti “Beribadah dengan Buku” seperti yang
tertulis jelas di Warabal.
Kiprah
Kiswanti tentu saja mengundang decak kagum. Kita patut berterima kasih
kepadannya. Apalagi jika diantara kita ada yang mau menyisihkan tenaga, pikiran
dan materi untuk ikut membantu perjuangan Kiswanti ini.
Semoga
kisah diatas dapat menginspirasi dan lebih banyak interopeksi diri terutama
bagi guru-guru sekarang ini yang jauh lebih beruntung dari sosok Kiswanti
diatas menjadikan lebih mempunyai tanggungjawab moral terhadap anak didiknya
dalam memandaikan atau mencerdasakn murid-murinya sebagai generasi penerus
bangsa yanga lebih baik, dengan gaji yang jauh lebih dari cukup dibandingkan
seorang sosok Kiswanti diatas.
Sosok
Kiswanti tidak ada yang membayar berjuang sendiri dengan ikhlas tanpa pamrih,
dan seharusnya malu jika guru-guru sekarang ini yang nasibnya sudah
diperhatikan pemerintah apalagi yang sudah mempunyai label dan menyandang guru
Profesional lebih malu lagi jika dalam mencerdasakan anak bangsa hanya
berorientasi dan berbasis Sertifikasi saja dan apa yang ia lakukan hanya
sekedar gugur kewajiban saja, tanpa mengedepankan mutu dan kwalitas atau input
siswa.
Dan
lebih memalukan lagi jika Guru Profesioanal hanya lebih mengedepankan Tunjangan
Profesinya daripada mencerdaskan anak didiknya seakan tanggungjawabnya sebagai
guru sudah mulai bergesar dari tempatnya dan hanya berorientasai dunia semata
tanpa sedikitpun memikirnya amal yang sangat mulia yang diemban seorang guru,
jika setiap individu memahami makna guru sejati apalagi jika diniati dengan
ibadah yang terkandung didalamnya sungguh sangat mulia.
Dan
semoga dunia pendidikan yang ada di negeri ini jauh lebih baik dan banyak
bermunculan mental-mental guru seperti Kiswanti yang berjuang tanpa pamrih untk
mencerdasakan anak-anak generasi penerus bangsa ini dan dunia pendidikan yang
sudah mulai dipenuhi dengan ambisi,kepentingan, politik, dan jabatan tanpa
memikirkan efek dan apa yang akan dipikul anak cucu kita mendatang.
Semoga
di masa mendatang banyak bermunculan Kiswanti-Kiswanti baru di negeri ini dan
dapat mengubah pendidikan dan membangun generasi mudah yang lebih baik dan
amanah di negeri ini yang sudah mulai banyak krisis kepercayaan rakyat terhadap
pejabat-pejabat yang sudah menjamur budaya Korupsi
Semoga
Amiiiin.
Wallahu
‘alam Bhisawab