KEKURANGAN
TANAH
“ Puluhan karung berisi tanah dari area pembungan
sampah terpaksa diambil untuk menimbun kuburan. Tapi, itu ternyata masih saja
kurang.“
DASBOR "RAHASIA ILLAHI 1
DASBOR "RHASIA ILLAHI 2
DASBOR "RAHASIA ILLAHI 1
DASBOR "RHASIA ILLAHI 2
Empat
orang penggali kubur sibuk menutup liang lahat. Didalamnya sudah ada jenazah yang
terbaring kaku. Separuh liang lahat sudah berhasil ditutup dengan papan dan
tanah. Namun separuh bagian lagi masih kesulitan untuk menutupnya dengan tanah,
padahal galian tanah yang semula asalnya dari liang kubur sudah dimasukkan
semua.
Anehnya setiap kali tanah
ditumpahkan kemudian diinjak dengan kaki oleh para penggali kubur tanah itu
ambles kedalam bak ada yang menyedotnya, akhirnya tanah yang seharusnya bisa
menutupi liang lahat tersebut tidak bisa menutupinya bahkan malah kekurangan
tanah karena ambles ke bawah setiap tanah diurugkan kedalam.
Sekitar 50 cm permukaan
liang lahat masih belum tertutupi tanah alias masih melongo karena kekurangan
tanah uruk. Beberapa warga yang hadir merasa aneh dan bingung dengan kejadian
tersebut. Biasanya sisa galian lebih jika bekas tanah galian kuburan di urugkan
kemabali, bahkan masih menyisakan gundukan tanah diatasnya.
Tapi ini justru berbeda
lubang kubur justru kekurangan tanah. “Bagaimana ini..? Tanahnya kurang “,
teriak penggali kubur kepada yang lain Seorang pria berteriak, “Ambil saja
tanah ditempat lain “.
“Tanah yang mana yang harus
diambil..?.
“Ambil saja tanah
disebelahnya, “ jawabnya, menunjuk ketanah sebelah.
“Tapi disebelah ini ada
kuburan juga. Disini padat kuburan “. Area pemakaman memang sudah penuh dengan
kuburan. Banyak kuburan yang sudah tak tampak lagi batu nisannya. Bahkan
kuburan tua di area itu. Warga mengira tak ada kuburan, padahal banyak.
Karenanya, setelah tahu
disekeliling mereka banyak kuburan , mereka tak berani menggali tanah untuk
menutup permukaan kuburan tadi. Lalu, salah seorang warga berpendapat, “Ambil
saja tanah disebelah kebun itu “, katanya.
Usulan itu sempat disetujui
oleh para pentakziah. Namun, salah seorang yang hadir memberi keterangan bahwa
tanah disebelah kebun itu milik warga yang sudah tidak tinggal dikampung ini
lagi. Keluarganya juga ikut pindah ke kota. Artinya, warga tak bisa minta izin
kepada pemiliknya sebelum mengambil tanah untuk keperluan menimbun kuburan.
Salah seorang pemuka agama
tak setuju jika mengambil tanah dari tempat yang belum memperoleh izin dari
pemiliknya. Sebab itu, bisa memberatkan nasib almarhum di alam barzah.
Sebaiknya mencari tanah yang memperoleh kerelaan dari pemiliknya, salah seorang
warga kemudian mengizinkan tanahnya diambil untuk menimbun lubang kuburan.
Tapi, sayangnya, sebidang tanah miliknya jauh sekali,perlu menggunakan
kendaraan untuk mengambilnya.
Belum lagi jalan untuk
menuju kesana harus melewati jalan setapak. Di musim hujan seperti ini, karena
waktu itu memang musim hujan, jalan menuju kesana sangat becek dan berlumpur.
Perlu diketahui bahwa area
pemakaman dikampung ini terletak dibawah kaki bukit yang cukup jauh dari
pemukiman warga. Tanah pemakaman tersebut adalah wakaf dari salah seorang
warga. Untuk menuju kampung pemukiman perlu satu kilometer jalan kaki. Termasuk
tanah yang diusulkan tadi.
Tanah Sampah
Warga dan ahli waris
kemudian bermusyawarah sejenak untuk memecahkan masalah ini. Tak berapa lama
kemudian akhirnya pengurus RT mengusulkan untuk menggunkan tanah di lokasi
pembuangan sampah.
Tanah ini milik warga dan
diserahkan pengelolaannya kepada pengurus RT. Saat itu pengurus RT
mempersilahkan untuk mengambil tanah dari pembuangan sampah tersebut. Apalagi
lokasi tanah pembuangan sampah tempatnya tak jauh dari area pemakaman sekitar
300 m jalan kaki.
Awalnya para ahli waris tak
setuju. Mereka sempat menangisi nasib keluarga mereka yang baru meninggal itu.
Pasalnya tanah tempat pembuangan sampah itu merupakan hasil pembakaran sampah
warga sekampung yang warnanya sudah menghitam.
Kenyataan ini memang harus
diterima. Tanah kotor itu harus digunakan untuk menutup jasad kuburan keluarga
mereka yang masih kekurangan tanah. Sebab, mereka tak bisa berbuat apa-apa.
Mereka pun setuju bahwa untuk menutup sebagian lubang kuburan itu dengan tanah
bekas pembuangan sampah warga.
Lagi pula ini juga bertujuan untuk mempercepat
proses pemakaman, karena waktu pun mulai merambat sore kala itu. Belum lagi
cuaca tampak tidak bersahabat sedikit mendung dan dikhawatirkan akan segera
turun hujan.
Beberapa pemuda kemudian
diminta bantuan untuk mengambil tanah dari lokasi pembuangan sampah tersebut.
Mereka mengangkutnya dengan karung dengan cara dipanggul di bahu. Ada sekitar tujuh
pemuda yang mengangkut tanah tersebut.
Satu kali angkut dari
ketujuh pemuda itu cukup banyak tanah itu langsung dimasukan ke lubang kubur
yang kekurangan tanah tersebut. Namun setelah diinjak-injak, lagi – lagi tanah
itu ambalas kebawah bak ditelan bumi. Permukaan yang kurang masih sekitar
50 cm.
Salah satu pengurus RT
menyarankan agar tanah yang sudah ditumpahkan kelubang kubur tidak perlu diinjak-injak
lagi dengan harapan agar tanah yang diurukkan tadi tidak mables lagi kedalam
seperti sebelumnya. Pada hasil pengangkutan kedua kalinya itu tak dilakukan
lagi. Mereka langsung menumpahkan tanah keliang lahat.
Kenehan pun lagi-lagi
terjadi apa yang diperkirakan orang jika tidak diinjak tidak ambles ke bawah di
luar dugaan ternyata tanah itu tetap ambles kebawah. Apa gerangan yang terjadi
dibenak pentakziah yang menyaksikan kejanggaln itu.
Pemuka agama dan pengurus RT
yang hadir menyarankan lagi untuk yang kesekian kalinya agar semua yang hadir
untuk membacakan Surat Al-Ikhlas. Disarankan lagi agar mereka mendoakan jenazah
yang ada didalam kubur itu agar dimudahkan dalam proses pemakaman. Lalu, pada
pengangkutan tanah uruk yang ketiga kalinya, Tanah hasil pengangkutan dari
ketujuh pemuda itu tetap saja belum mencukupi untuk menutup kekurangan liang
lahat tersebut.
Para pemuda yang mengangkuti
tanah tersebut cukup kelelahan. “Bagaimana ini..?”. Teriak salah satu diantara
mereka. Pengurus RT yang keetulan juga pemuka agama, menyarankan kepada para
pemuda pengangkut tanah tersebut agar ikhlas mengerjakan pekerjaan tersebut,
“Semua yang manggul tanah harap tulus dan ikhas, jangan terpaksa. Kalau tidak
berkenan , silahkan tidak usah ikut mengangkut tanah uruk”, serunya memberi
pengarahan.
Dari tujuh pemuda yang
mengusung tanah tadi, satu orang menyatakan tak mau mengerjakan lagi. Pemuda
ini, sebut saja namanya Mohammad Rozak, ia berkata kepada pengurus RT, Saya
lelah, saya mau istirahat dan tidak ikut memanggul lagi.
Tanpa pikir panjang pengurus
RT mengizinkan Rozak untuk berhenti dan istirahat. Kini pemuda yang mengangkut
tanah tinggal 6 pemuda, Rozak keluar dan tak ada lagi pemuda laki-laki yang
menggantikannya. Pada saat itu yang hadir di pemakaman rata-rata adalah
bapak-bapak dan ibu-ibu.
Pemuda jarang yang
mengantarkan. Pekerjaan memanggul tanah memang cukup berat. Keluarnya Rozak
dari kelompok pemanggul tanah tak ditanggapi serius oleh pentakziah. Mereka
memaklumi dengan apa yang diputuskan Rozak. Badan Rozak memang tak kekar. Ia
pemuda yang tergolong berbadan kurus.
Mungkin ini yang menyebabkan
Rozak mudah lelah. Ia tak biasa angkut beban berat sebab tenaga yang dipanggul
ada 2 karung berisi tanah yang memuat sebagian isi karung yang diletakkan diujung
kayu panggul didepan dan belakang. Ujung karung diikat dengan tali agar tak
tumpah. Maka wajar saja jika Rozak merasa kelelahan dan akhirnya memtuskan
untuk istirahat dan tidak ikut memanggul tanah lagi.
AKHIRNYA TERTUTUP
Enam orang pemuda kemudian berangkat
mengambil dan memanggul tanah lagi. Sedikit demi sedikit tanah diarea
pembuangan sampah dicangkuli. Setelah itu dimasukkan kedalam karung. Usai itu
mereka kembali ke area pemakaman. Para pentakziah perlu menunggu rombongan
pengangkut tanah ini sekitar 30 menit, mulai dari pemberangkatan, pencangkulan,
hingga kembali lagi ke pemakaman.
Ini sungguh waktu yang tak
sebentar. Jadi , kalau ada empat kali pengangkutan, berarti perlu waktu dua jam
para pentakziah menunggu pengangkutan tanah uruk tersebut. Setelah rombongan
pengangkutan tanah tiba, mereka langsung menimbunkan tanah kedalam liang lahat
yang masih kekurangan tanah tersebut.
Sedikit demi sedikit lubang
kuburan mulai tertutupi tanah yang berasal dari pembuangan sampah warga desa.
Semua tanah yang dibawa dalam karung ditumpahkan sekaligus, permukaan lubang
kubur akhirnya tertutup juga oleh tanah tersebut.
Ini artinya pekerjaan
menutup tanah kubur telah selesai. Para Pentakziah dari raut wajahnya terlihat
gembira. Terutama para ahli waris almarhum dan keluarga almarhum yang telah
dimakamkan itu. Isak tangis pun menyelimuti sebagian keluarga almarhum.
Isak tangis keluarga bisa
mengandung dua makna. Menangis karena berkabung,dan menangis karena syukur.
Syukur bukan karena mereka menikmati kematian keluarga, tapi syukur diungkapkan
karena mereka menyaksikan selesainya peristiwa aneh.
Susahnya untuk menimbunkan
tanah kelubang kubur merupakan peristiwa aneh yang mereka alami selama
pemakaman dikampung tersebut. Tapi akhirnya semua itu akhirnya bisa juga
diselesaikan dengan baik. Tentu ini merupakan hal yang patut disyukuri. Sebab
Allah swt masih berkenan menolong mereka semua.
Usai tertutup semua permukaan
kuburan, salah seorang keluarga dari almarhum menancapkan papan nisan kebagian kepala kuburan tersebut. Pengurus RT
kemudian memimpin do’a, para pentakiah mengamini semua do’a yang
dipanjatkannya.
Sakit hati..?
Setelah proses pemakaman
selesai dilaksanakan, semua pentakziah kembali kerumah masing-masing. Ada
beberapa pentakziah mencermati keanehan yang terjadi dipemakaman tadi.Namun ada
juga yang tak menanggapinya secara serius. Orang ini beranggapan boleh jadi
keanehan itu terjadi karena tanah untuk menguburkan jenazah memang longsor
karena memang sekarang ini lagi musim hujan. Bisa juga karena tanahnya gembos
dan mudah amblas ke dalam.
Tapi, bagi yang mencermati,
keanehan itu justru diperkuat dengan kejadian Rozak yang mundur dari barisan
pengangkut tanah. Sebelumnya tanah selalu kurang terus, tetapi setelah Rozak
tak ikut, malah mudah ditimbuni tanah. Mungkinkah ada hubungan tak terpisahkan
Antara Rozak dan Wardiman..?.
Keduanya adalah warga
dikampung itu. Mereka berdua hanya beda usia saja. Kira-kira beda sekita 30
tahunan. Sulistio, kini usianya sudah setengah abad, mencoba bercerita. Ia
adalah teman sekaligus tetangga Rozak. Dulu, kata dia, sekitar 18 tahun silam
Rozak pernah menuturkan sesuatu kepada dirinya perihal hubungannya dengan Pak
Wardiman.
Rozak mengaku bahwa dirinya
pernah sakit hati apa yang pernah dilakukan oleh Pak Wardiman kepadanya sewaktu
masih hidup. Sakit hati itu tak jua terobati, hingga akhirnya meninggal dunia.
Pak Wardiman tak sempat meminta maaf pada dirinya, Rozak belum juga memaafkannya.
Rozak menuturkan,bahwa sakit
hati itu muncul lantaran Pak Wardiman tak mau menolong ketika rumah orang
tuanya kebocoran. Saat itu musim hujan, rumah orang tua Rozak kebanjiran,
karena genteng bocor , dan tanggul rumah bolong sehingga mengakibatkan air dari
jalan masuk kedalam rumahnya hari itu Rozak dan orang tua pasrah.
Setelah hujan reda dan cuaca
kembali terang, keluarga Rozak sibuk membenahi genteng bocor rumah orang tua
Rozak terbilang jelek dan tua. Tembok rumah pun sudah rapuh, sebagian lapisan semen
tembok megelupas. Rozak dan keluarga merasa bingung untuk menambal tanggul
rumah yang jebol. Jika tak ditambal rumah bisa roboh. Tapi, keadaan ekonomi
keluarga serba kekurangan.
Rozak mengusulkan kepada
orang tuanya agar hutang dulu ke toko bangunan untuk mengambil pasir dan semen.
Tapi, orang tua Rozak tak setuju, lantaran hutang keluarga sudah terlalu banyak
di warung-warung. Mereka tak sanggup lagi menyisakan hutang terlalu banyak.
Untuk makan sehari-hari saja mereka kesulita. Apalagi harus membeli semen dan
pasir.
Karena tak sanggup beli,
Rozak kemudian mencari insiatif. Ia menuju kearah depan rumah Pak Wariman .
Disana ada sedikit pasir sisa bangunan yang pernah digunakan oleh Pak Wardiman
untuk membangun pagar rumah. Pasir itu berserakkan dijalan, dan tampaknya sudah
tidak digunakan lagi. Maka, Rozak pun meminta izin kepada pak Wardiman untuk
memanfaatkan sisa pasir itu.
“Rozak masuk kerumah Pak
Wardiman. Tapi, disana ia tak menemukan orang yang dituju. Ia hanya bertemu
dengan istrinya. “Ada apa mencari Bapak..?”. kata istri Pak Wardima bertanya.
“Begini bu, saya bermaksud
meminta sisa pasir yang sudah tak terpakai di jalan itu untuk keperluan
menambal pondasi rumah. Karena pondasi rumah saya jebol akibat hujan “. “Ambil
saja itu sudah tak terpakai lagi kok , “kata istri Wardiman.
Setelah memperoleh izin
Rozak langsung mengambil pasir dengan karung. Ia berhasil membawa pasir untuk
satu kali angkut. Namun untuk kedua kalinya, pasir dijalan sudah bercampur
dengan tanah selokkan Rozak kaget.
Ternyata,pasir sudah
dicampur tanah selokkan oleh Pak Wardiman karena marah dan ia tidak setuju bila
Rozak memanfaatkannya .”Enak saja kamu mengambil pasir saya. Kamu kamu kan
belum izin ke saya “, kata Pak Wardiman.
“Tapi saya sudah ngomomng ke
ibu, dan ibu mengizinkan jawab Rozak.
“Tidak boleh. Kalau kamu mau
ambil, ambil saja itu sudah saya campur dengan tanah selokkan “.
“Apakah Bapak masih
menggunkan pasir ini..?.
“Mau digunakan atau tidak,
itu terserah saya. Itu punya saya kok. Dasar orang miskin. Bisanya Cuma
minta “,katanya dengan nada menghina dan
dan sombong.
Rozak akhirnya kembali
pulang. Ia tak jadi mengambil pasir itu lagi. Untuk menambal pondasi rumah, ia
menggunakan tanah liat dari pinggir kali. Ia menambahkannya dengan batu kali.
Hujan datang pondasi itu hancur lagi, dan ini terus terjadi.
Rozak mungkin bisa menerima
jika Pak Wardiman tak bersedia memberi pasir padanya. Tapi, ia sakit hati
lantaran perkataannya yang menghina dan sombong itu. Sakit itu terpendam terus
dalam hati. Bahkan hingga Pak Wardiman meninggal dunia.
Ini bisa kita jadikan
I’tibar jangan mudah kita mengubar perkataan apalagi menyakitkan orang lepas
dari semua cerita diatas lambat atau cepat pasti suatu saat kita akan mendapat
balasan yang setimpal didunia maupun di akhirat. Semoga kita dihindarkan dari sifat
dan perilaku seperti cerita diatas, Amiiin.
Wallahu a’lam bis-shawab
( dikutip dari Majalah Hidayah )
( dikutip dari Majalah Hidayah )