Blog Konten Islam: BAGAIMANA MENGADOPSI ANAK MERUJUK ISLAM..?

Saturday 12 May 2018

BAGAIMANA MENGADOPSI ANAK MERUJUK ISLAM..?

BAGAIMANA  MENGADOPSI ANAK MERUJUK ISLAM

BAGAIMANA    MENGADOPSI  ANAK MERUJUK  ISLAM..?

“Adopsi termasuk perbuatan mulia. Tetapi nasab anak adopsi tetap melekat pada orang tua kandungnya, bukan pada orang tua asuhnya. Sehingga hukum waris mewarispun jalurnya hanya bisa pada orang tua kandungnya.”

Sepasang suami istri tentu sangat mengharpakan kehadiran seorang anak dirumah. Kehadiran anak bisa makin mendatangkan keceriaan dan kebahagiaan rumah tangga. Tetapi tidak sedikit orang yang sudah sekian lama berumah tangga, belum juga diakruniai momongan.

Ini kerap terjadi menjadi keresahan keluarga bahakan lebih dari itu bisa menjadi sebuah sumber maslah keretakkan dalam rumah tangga. Baik dari pasangan suami istri itu sendiri maupun orang tua dari kedua belah pihak yang segera ingin menimang cucu.

Tenanglah, tidak perlu bersedih !. Tidak perlu resah !. Apabila tidak atau sulit memiliki momongan, Agama membolehkan kok untuk mengangkat seorang anak. Adopsi namanya. Adopsi atau mengangkat anak bisa menjadi solusi alternative penawar rindu akan hadirnya seorang anak.

Adopsi bukan obat kerinduan saja melainkan adopsi juga bagian dari amal shaleh. Karena termasuk menolong sesama, terutama mereka yang sangat membutuhkan pertolongan, semisal anak dari keluarga kurang mampu atau miskin. Anak tersebut jelas perlu diperhatikan kebutuhan dasarnya, seperti makan, minumnya, sandangnya, juga pendidikan yang memadai.

Namun pembolehan adopsi ini ada batas-batasnya.Tidak bisa dengan alasan saking sayangnya terhadap anak asuhnya, lantas memperlakukan layaknya anak kandung dalam segala hal. Ada ketentuan yang harus diperhatikan agar nantinya tidak jatuh pada perbuatan dosa.

BOLEH DAN TIDAK BOLEH
Kata Adopsi dalam islam dikenal dengan istilah Tabanni. Dalam Kamus Al-Munawwir, kata tabanni mempunyai arti mengambil, mengangkat anak atau mengadopsi.

Mengambil anak orang lain untuk diasuh adalah hal yang sangat mulia dalam agama. Labih-lebih bagi pasangan yang memiliki rezeki yang cukup namun belum mempunyai atau dikaruniai anak. Seperti diketahui, kebanyakkan anak adopsi adalah anak yang punya latar belakang kurang mampu.
Dengan mengadopsinya, maka anak tersebut akan mendapatkan ‘hak’ – nya , baik yang sifatnya fisik (seperti; makan, tempat tinggal, kesehatan) maupun non fisik (pendidikan, bimbingan agama dan sebagainya). Dari dulu hingga sekarang, kebiasaan adopsi sudah biasa terjadi. Hanya saja pada masa pra islam.

Anak adopsi statusnya disetarakan dengan anak kandung sehingga nasabnya pun diubah mengikuti orang tua asuhnya, tidak lagi ke nasab orang tua kandungnya. Semua hubungan nasab anak asuh, berpindah ke orang tua asuh. Dengan begitu, mereka bisa saling mewarisi, bisa menjadi mahram, bisa menjadi wali nikah dan sebagainya. Intinya, anak adopsi memiliki hak dan hukum yang sama seperti halnya anak kandung.

Kebiasaan ini sudah baku di masyarkat Arab. Begitu pun saat Rasulullah saw sebelum menjadi nabi mengambil Zaid bin Haritsah (mantan budaknya) sebagai anak angkat, masyarakat Arab memanggil dengan panggilan Zaid bin Muhammad. Padahal nama ayah kandungnya Zaid  adalah Haritsah. Hingga keudian, Ibnu Umar mengatakan :

“Kami tidak pernah memanggil Zaid  bin Haritsah, namun Zaid bin Muhammad, sampai Allah menurunkan firman – Nya di surat Al-Ahzab ayat 5 “. ( HR.Bukhari). Bunyi ayat tersebut artinya, “Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka ; itulah yang lebih adil disisi Allah swt, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, panggilah mereka sebagai saudara saudaramu seagama atau maulamu. Tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan Allah Maha Mengampun lagi Maha Penyayang “.

Dengan turunya QS. Al-Ahzab ayat 5 ini sekaligus menghapus perlakuan adopsi yang sudah kebablasan. Anak angkat yang dulu dinasabkan ke orang tua asuh , kemudian nasabnya harus tetap melekat pada orang tua andungnya. Termasuk juga tidak berlaku hubungan saling mewarisi, tidak bisa menjadi mahram, dan wali nikah. Pengertian adopsi yang terakhir (tidak ada hubungan nasab antara anak asuh dan orang tua asuh). Inilah yang dibenarkan dalam agama.

Sehingga bila disimpulkan, adopsi atau tabanni itu ada yang diperbolehkan dan ada yang tidak diperbolehkan. Selagi tanpa memberi status anak kandung kepada anak asuh tersebut, maka hal ini sah dilakukan.
Sebaliknya jika orang tua asuh sudah menganggap anak adopsi tersebut sebagai anak kandung yang bisa mewarisi , bagian dari mahram , dan nasab ke orang tua asuhnya, maka hal ini bertentangan dengan ajaran agama.

Jangan Mengubah Nasab
Hadits dan QS. Al-Ahzab : 5 di atas merontokkan anggapan bahwa anak asuh sama statusnya dengan anak kandung status hukumnya. Perlakuan dalam hal pengasuhan dan perawatan anak asuh memang bisa diperlakukan seperti anak sendiri, tetapi perlakuan dalam hal-hal tertentu yang menyangkut dengan hubungan nasab dan mahramnya tidak bisa disamakan.

Betapapun cinta dan sayangnya terhadap anak asuh, ia tidak bisa memasukkan sebagai bagian dari anak kandungnya. Keduanya tidak terikat pertalian darah sama sekali. Hubungan yang ada adalah hubungan sesama manusia yang satu punya kepedulian terhadap orang yang lain dengan cara menjadikan seorang anak untuk diasuh, dirawat, dibimbing, dibekali pendidikan layaknya anak sendiri.

Terkait adopsi ini sudah termasuk dalam hukum positif di Indonesia. Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 171 hurf h KHI menyatakan bahwa yang dimaksud anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari , biaya pendidikan dan sebagainya, beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga sudah menfatwakan soal adopsi. Fatwa itu merupakan salah satu hasil Rapat Kerja Nasionalis MUI pada Maret 1984, diamana salah satu butirnya pertimbangannya adalah silam mengikuti keturunan nasab yang sah, yaitu anak yang lahir dari perkawinan. MUI memandang, mengangkat anak tidak lantas mengubah status nasab dan agamanya.

Sebab Rasulullah saw sendiri mencontohkan tetap mepertahankan nama ayah kandung Zaid, yakni Haritsah di belakang nama Zaid dan tidak lantas mengubahnya dengan nama bin Muhammad.

Pun dalam Munas Alim Ulama di Situbondo, Jawa Timur pada tanggal 21 Desember 1983, para ulama NU menfatwakan bahwa mengangkat anak orang lain untuk diperlakukan, diakui sebagai anak sendiri hukumnya tidak sah.Pegangkatan anak tidak bisa menjadikan anak itu sederajat dengan anak sendiri didalam nasab mahram maupun waris.

Seperti tidak dibenarkan jika anak tersebut sudah baleq diperlakukan seperti anak sendiri karena biar bagaimanapun dia bukanlah mahram. Terus, kalau orang tua asuhnya meninggal , lantas anak asuhnya dianggap bisa mendapatkan warisan, itu juga tidak benar. Anggapan tersebut sangatlah keliru.

Terlarang pula saat anak asuhnya (perempuan) menikah, ayah asuhnya menjadi walinya. Larangan keras mengubah nasab anak asuh menjadi anak sendiri ini pernah ditegaskan oleh Rasulullah saw, dalam hadits dari Sa’id , Nabi saw mengatakan, “Siapa yang mengaku anak seseorang sementara dia tahu bahwa itu bukan bapaknya maka surga haram untuknya “. (HR. Bukhari).

Kesimpulannya, islam melarang pemberian status nasab anak asuh sama persis dengan anak kandung. Sebab selain dapat menguburkan status seseorang, juga ada unsur memalsukan asal-usul seorang anak, sehingga status orang lain (ajnabi) biasa hilang dan menjadi mahram.

Sehingga dengan demikian, hubungan anak angkat dengan orang tua asuh tetap seperti sebelum diadopsi yang tidak mepengaruhi kemahraman dan kewarisan.


( Berbagai Sumber)

Tri Yudiono Publishing https://blogkontenislam.blogspot.com - 12 Mei 2018

Share on :

No comments:

BUKIT SINAI, SAKSI KEKUFURAN BANI ISRAEL

BUKIT SINAI,   SAKSI KEKUFURAN BANI ISRAEL Dasbor Kisah Nabi" BUKIT SINAI, SAKSI KEKUFURAN BANI ISRAEL “Selaman...