Dasbor " Asmaul Husna"
“
Sanggupkah kita mengarahkan diri untuk selalu ada dalam cinta-Nya
perhatian-Nya, pertolongan-Nya, dan perlindungan-Nya “..
Rasulullah saw
pernah bersabda dalam sebuah hadits Qudsi: “Kalau aku sudah mencintaimu, maka ketika
kamu melihat sesungguhnya kamu melihat dengan pengelihatn-Ku, ketika kamu
mendengar , kamu mendengar dengan pengelihatan-Ku. Kalau kamu minta pertolongan
, akan Aku kutolong segera dan jika kamu meminta perlindungan, kamu akan Aku
lindungi “ (HR. Bukhari).
Baca Juga"Perempuan Lebih Utama Sholat di Masjid / di Rumah..?"
Baca Juga "Keutamaan Wanita Sholehah..?"
Masalahnya sanggupkah kita mengarahkan diri untuk selalu ada dalam
cinta-Nya, perhatian-Nya, pertolongan-Nya, perlindungan-Nya ?. Untuk
dicintai-Nya kita harus mencintai-Nya, agar selalu ditolong, diperhatikan, dan
dilindungi terlebih dahulu kita harus berbakti dengan sepenuh hati kepada-Nya
dan juga makhluk-Nya. Perilaku luhur seperti ini merupakan refleksi keimanan
seorang hamba dan bukti bahwa sifat Ke-Maha Luhuran Allah itu diteladani.
Ke-Maha Luhuran Allah itu tidak hanya bergelantungan di angkasa ,
seperti tegaknya langit tanpa tiang , berotasinya triliunan benda angkasa,
tetapi sifat Al-Jalil (Maha Luhur) itu melingkupi Dia Yang Maha Kaya,, Mha
Kuasa, Maha Suci, Maha Mengetahui, dan Maha Menentuka.
Jadi Al-Jalil adalah sifat Zat yang sempurna Kebesaran-Nya dari
paripurna Keagungan-Nya. Tidak ada apa dan siapapun yang menandingi Zat, sifat
dan perbuatan-Nya. Ia bukan berbentuk fisik, tidak butuh sesuatu, tidak lemah
dan menafikkan diri-Nya dari segala sesuatu yang tidak wajar bagi-Nya.
Kendati tidak ditemukan kata “Jalil” dalam Al-Quran, tetapi dalam
Al-Quran surat Ar-Rahman /55:27 dan 78 Allah menggambarkan diri –Nya sebagai
pemilik Jalal(keluhuran) “Dan tetap kekal Zat Tuhanmu yang mempunyai keluhuran
dan kemuliaan. Maha Agung Nama Tuhanmu yang mempunyai Keluhuran dan Karunia”,
Bagi Prof.
Quraish Shihab, pemilik Al-Jalal
tak lain adalah Allah Al-jalil. Pun kemuliaan yang disandang Allah
terhimpun didalam sifat itu.
Mengenai sifat ini Al-Ustadz Mahmud Samiy dalam Mukhtashar fi Ma’ani Asma’Allah
Al-Husna mendeskripsikan bahwa Al-Jalil adalah Zat yang mengumpulkan
sifat-sifat Allah secara mutlak. Sebab semua keelokkan , kesempurnaan , dan
kebaikan yang ada dialam ini semua berasal dari cahaya Zat-Nya dan bekas-bekas
sifat-Nya. Karena itu mereka mengenal_nya dan yang memandang keelokkan-Nya
merasa senang, lezat, nikmat, gembira dan bahagia. Jadilah Allah Zat yang Jalil
sekaligus Jamil vis-avis semua makhluk. Dengan demikian , Allah adalah Zat Yang
Luhur dan dicintai dan dirindukan.
Hanya saja, mereka yang rindu kepad_Nya dan beroleh keindahan saat
memandang-Nya berselubung rahasia. Karena orang yang buta tidak bisa mengenali
apa-apa didepan matanya kendati keindahan itu bisa membuatnya pingsan atau
bahkan kehilangan nyawa. Bagi mereka yang terbuka mata hatinya menjadi nyat
bahwa keluhuran dan keindahan sifat Allah itu melampaui segala sesuatu yang
dikenalinya atau tidak pernah melayang dalam memorinya. Sayang kini banyak
diantara kita, yang tetap berbahagia menjadi “Orang-orang buta” dengan
menganggap bahwa dirinya mengetahui apa saja dengan mata kepala.
Dalam lensa sejarah, kita diperkenalkan dengan sosok Nabi Musa yang
memaksa ingin melihat Tuhan nya dengan mata kepala. Padahal salah satu dari
makna Al-Jalil adalah Dia yang menempatkan diri dihdapan makhluk-Nya namun
mereka tidak kuasa melihat-Nya dengan perspektif visual yang dangkal. Segala
makhluk tak mampu menyaksikan keindahan kesempurnaan cahaya –Nya. Mata raga tak
kuasa menerima kiriman cahaya dari Keluhuran Zat yang dilihatnya.
Inilah kisah Nabi Musa itu, Dan tatkala Musa datang untuk (munajat
dengan Kami) pada waktu yang telah kami tentukan dan Tuhan telah berfirman
(langsung) kepadanya, berkatalah Musa : “Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau)
kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau”.
Tuhan berfirman : “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi
lihatlah ke bukit itu , maka jika ia tetap ditempatnya (sebagai sedia kala)
niscahya kamu dapat melihat-Ku”, tatkala tuhan itu melihatkan pada gunung
itudijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jath pingsan. Maka setelah
Musa sadadr kembali dia berkata : “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada
engaku dan aku orang yang pertama-tama beriman” (QS.AlA’raf/7:143).
Sebagai Al-Jalil, Dia membagi-bagikan sepercik kekayaan kepada siapa
yang dihendaki-Nya. Makhluk yang diberikan kekayaan akan merasakan kebahagiaan
kelebihan materi, dan bisa mendayagunakan semua potensinya untuk menancapkan
eksistensinya dimuka bumi. Bedanya kalau kekayaan makhluk bisa berkurang atau
bertambah ketika diberikan bagi sesamanya, kekayaan Al-Jalil tidak bisa
dipengaruhi aoleh apa dan siapapun. Ia Maha Kaya Karena diri-Nya. Manusialah
yang membutuhkanya.
Allah menegaskan :”Ketahulah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”,
(QS. Al-Baqarah /2:267). “Tuhanmu Maha Kaya lagi Maha Memiliki Rahmat” (QS.
Al-An’am/6:133) “Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari
alam semesta (QS.Al-Ankabut/29:6). “Allah Yang Maha Kaya sedangkan kamulah yang
butuh kepad-Nya”, (QS. Muhammad/47:38).
Sebagai Al-Jalil Dia mendelegasikan keberadaan-Nya kepada sekalian
makhluk di muka bumi. Dalam bahasa manusia, mereka yang berkuasa itu disebut
raja, kaisar, presiden, kanselir, yang dipertuan agung, pemimpin tertinggi,
mullah, Amir, ayatollah, perdana menteri atau maha patih. Tidak seperti
manusia, Al-Jalil tidak butuh protokoler pasukan segelar sepapan, pengawal dan
asisten. Ia pun tidak lalu luntur kekuasaan-Nya ketika turun untuk menolong
mereka yang miskin, terpinggir dihinakan, atau manusia dengan basis kontituen
politik yang lemah.
Semua kekuasaan yang saat ini dipegang manusia dijagat ini pada
hakikatnya adalah milik Allah Al-Jalil. Allah berfiman :”Allah yang
meanugerahkan kerajaan-Nya (di dunia ini) kepada siapa yang dia kehendaki dan
Dia Maha luas Anugerah-Nya lagi Maha Mengetahui (QS.Al-Baqarah/2:247). Wahai
Tuhan yang memiliki kerajaan , Engkau beri kerajaan kepada orang yang Engkau
kehendakai dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki” (QS. Al-
Imran/3:26).
Sebagai Al-Jalil, Allah lah yang membuat makhluk-Nya dimuliakan oleh
sesamanya. Ia pemilik kemuliaan. Dengan sifat-Nya diangkatlah derajat manusia
yang tadinya hina dina. Seperti membalik telapak tangan , manusia yang tidak
pernah diperhitungkan , serta merta memperoleh pengikut , dukungan dan
dieluk-elukkan karena dimuliakan Allah.Al-Jalil bahkan mengajarkan bahwa
bersentuhan dengan masyarakat pada tingkat akal rumput tidak akan membuat
hilang kemuliaan. Karena selama ini, Al-Jalil lah yang telah memberi pengemis
tempat di kolong jembatan, melindunginya ketika tidur, memeprtemukan dengan
sebungkus nasi bekas.
Sebaliknya, manusia merasa malu dengan baju kemuliaan dan kebesarannya
manakal berurusan dengan orang-orang miskin, penduduk kampung kumuh, kaum
terlantar dan anak-anak jalanan. Padahal jika Allah menhendaki disanlah
seseorang bisa jadi akan mendapatkan keluhuran , kekuasaan, dan kemuliaan dari
Allah Pemilik Kemuliaan.
Allah memberi kita pedoman :”Barang siapa bersyukur maka sesungguhnya
dia bersykur untu (kebaikkan) dirinya, dan barang siapa ingkar , maka
sesungguhnya TuhankuMaha Kaya lagi Maha Mulia” (QS. AN-Nahl /16:40). “Sesunggunya
telah Kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkat mereka didaratan dan dilautan”
(QS. Al-Israa/17:70).
Semoga kita bersama-sama dalam prosesi menjadi hamba yang luhur ,
mulia, diberi kuasa, mampu mengintip keindahan-Nya. Inilah pribadi Abdul Jalil.
Yakni, seperti kaya Syekh AL-Jerrahi, hamba yang memiliki sifat sempurna.
Perasaanya, pikiranya, dan perbuatannya berusaha meneladani Rasulullah saw
dengan menyesuikan diri dengan citra Tuhannya.
Karena itulah Abdul Jalil dianugerahkan kebesaran dan keluhuran oleh
Allah swt sebagai Al-Jalil. Semoga kita yang saat ini berhimpun dalam tenda
agama-Nya, termasuk diantaranya. Semoga, Aamiin.***
Wallahu ‘alam Bhisawab