BAGAIMANA MENJADI GURU SEJATI…?
“Guru yang mengajar dengan cinta, murid
pasti akan membalasnya dengan cinta. Guru yang pandai menghargai murid,
murid pasti akan menghargai ”
Sewaktu belajar di
madrasah, saya pernah bertanya kepada guru yang biasa mengajar di kelas. Sang
guru berusaha menjawab pertanyaan saya. Tiba-tiba matanya berkaca-kaca ia sadar
penjelasannya kurang memuaskan saya.
Ia
mengakui tak mampu memberi pemahaman lebih baik dari itu. Esoknya dengan penuh
kasih ia gandeng tangan saya menghadap kepala madrasah yang dipandang lebih
senior dan lebih mumpuni. Sang kepala sekolah pun ternyata tak mampu menjawab
secara memuaskan.
Mereka
berduapun memohon maaf. Pelupuk mata mereka sembab air mata. Saya benar-benar
berterima kasih atas upaya tulus mereka. Saya pun melanjutkan belajar dari satu
pesantren yang lain. Pertanyaan saya satu persatu kian terjawab. Makin lama
makin luas dan makin dalam.
Sepulang
dari pesantren dan saya pulang kampung dua gur madrasah itu mendatangi saya.
Mereka masih ingat pertanyaan saya yang saya ajukan bertahun-tahun silam itu.
Kini
giliran mereka minta saya menjelaskan jawabannya. “ Mereka mengangguk-angguk
berterima kasih kepada saya”.
“Sekarang,
masihkah ada sosok guru seperti itu..?”. tanya alm Kyai Sahal Mahfudh menutup
cerita masa belajarnya dulu kepada rombongan Mendikbud saat silaturahmi untuk
membahas Kurikulum 13 (K13) pada awal tahun 2016. Mantan ketua umum MUI Pusat
ini sejatinya mengajak kita bercermin. Satu sisi, betapa pendidik itu perlu
bertanggungjawabpenuh terhadap perkebangan anak didik.
Disisi
lain - Mahfum mukhalafah-nya betapa
kecintaan pengajar terhadap anak didik kini mulai pudar. Kini lanjutnya guru
kebanyakkan mulai berorientasi materi.
Baik
materi dalam dalam arti transfer informasi dan pengetahuan sesuai Kurikulum bagi muridnya maupun materi dalam arti
transfer gaji dan tunjangan bagi dirinya. Dalam konteks pertama , proses
pendidikan bergeser jadi sekedar pengajaran.
Dalam
konteks kedua guru yang mesti “digugu” dan “ditiru” menjadi sekedar profesi
yang berbasis sertifikasi. Pandangan kyai yang pernah menjabat anggota Badan
Pembina Pendidikan Nasional (BPPN) semasa Mendikbud Wardiman Djojonegara itu
mewakili kerisauan banyak orang.
Bukan
hanya di tanah air. Profesor Svi Shaviro dari University of Carolina juga
meninjau ulang situasi pendidikan di Barat terutama di Amerika. Ia menyaksikan
sekolah-sekolah yang bersaing keras satu sama lain demi mencapai kualifikasi
tertinggi sesuai dengan alat ukur yang ditetapkan pemerintah.
Ruang-ruang kelas yang mirip pabrik untuk
memproduksi sumber daya manusia yang akan dijual di pasar tenaga kerja :
guru-guru yang sibuk mempersiapkan , melaksanakan, dan memperiksa hasil tes
yang makin lama makin canggih, para siswa yang mengerahkan perhatiannya untuk
lulus dalam tes-tes itu dengan ukuran dan kelulusanyang makin lama makin berat.
Orang tua yang memberikan “belajarlah yang rajin dapatkan nilai yang
tinggi “ bukan lagi “Belajarlah yang rajin , jadilah orang bijak dan benar “.
Intinya guru tak lagi mendidik, ia hanya mengajar. Murid tak lagi tumbuh , ia
hanya menambah ilmu. Dari sekolah keluarlah orang-orang yang mengubah kearifan
menjadi informasi , masyarakat menjadi pasar, agama menjadi komoditas , politik
menjadi rekayasa, dan kesetiakawanan menjadi nepotisme. Itu terjadi
karenapendidikan telah kehilangan jiwanya, dilepaskan dari esensinya.
Education worthy of the name is essentially educationof character, kata
Martin Buber. Hasil belajar mengajar adalah engetahuan, hasilpendidikan adalah
krakter. Yang penting agar anak didik lulus Ujian Sekolah, yang kedua agar
mereka lulus ujian kehidupan.
Keprihatina itu pula yang kami rasakan saat merumuskan Kurikulum 2013
dulu. Arahnya adalah peningkatan kompetensi yang utuh antara pengetahuan
(knowledge), keterampilan (skill), dan sikap (attitude).
Tiga hal ini yang harus dimiliki peserta didik. Ukurannya keberhasilan
peserta didik dapat dilihat dari pertambahan pengetahuannya, peningkatan
keterampilan dan kemuliaankepribadiannya.
Disinilah guru berperan besar. Kualitas guru wajib ditingkatkan. Selain
penguasaan akademis juga perlu dikuasai guru.Paling tidak, dalam sertifikasi
seorang guru harus memiliki kompetensi pedagogic, akademik (keilmuan), sosial
dan kepribadian atau kepemimpinan.
Dengan terus menyempurnakan kompetensi tersebut diharapkan guru bisa
berperan sebagai “role model” (pengemban keteladanan). Pendidikan dengan cara member
teladan terbukti jauh lebih berkesan dan membekas dalam diri peserta didik.
‘Lisanul hal min lisanil maqal ‘ .Pakar pendidikan menyebutkan learning
by doing ( mengajar dengan tindakan) dan learning bu exemple ( mengajar dengan
contoh). Itulah makna lain dari kearifan local tentang guru itu digugu dan ditiru.
Pemikirannya layak digugu dan perilakunya layak ditiru. Dari cerita
Kyai Sahal terbersit teladan tentang kerendahan hati, tanggung jawab, dan
belajar tidak henti. Menjadi guru bukan berarti tahu segalanya.
Tak perlu berupaya dirinya tampak pintar didepan murid, tetapi berupaya
mengantar murid lebih pintar dari dirinya. Saya jadi teringat sebuah riwayat
dari Masruq yang menuturkan.
Kami memasuki rumah Abdullah bin Mas’ud
ra dan dia berpesan,”Wahai sekalian manusia, siapa
mengetahui sesuatu hendaklah dia mengatakan apa yang diketahuinya ; barang
siapa yang tidak mengetahuimya maka hendaklah dia mengatakan, “Allah lebih
mengetahui “ karena sesungghnya termasuk ilmu bila seseorang mengatakan , “Allah
lebih mengetahui” terhadap sesuatu yang ia tidak ketahui “. (HR. Bukhari).
Selain itu, guru dituntut pandai mendengar. Apa pun pertanyaan murid –
konyol ataupun super pelik – layak diperhatikan. Berdasarkan pengalaman, murid
yang ceritanya sering kita dengarkan akan lebih memperhatikan apa yang kita
sampaikan kepadanya.
Itu lantaran mereka merasa dihargai dan diperlakukan dengan baik. Kalau
guru mengajar dengan hati, murid akan mendengarkan dengan hati pula. Guru yang
mengajar dengan cinta, murid pasti akan membalasnya dengan cinta. Guru yang
pandai menghargai murid , murid pasti akan menghargai guru.
Keterampilan mendengarkan itu memang tak mudah. Ia sejatinya lahir dari
caring (peduli) dan empathy (empati). Dengan rasa peduli , guru berusaha
memahami kondisi muridnya, dengan rasa emapti, Ia ikut serta secara emosional dan
intelektual dalam pengalaman mereka. Semua ini lahir dari kompetensi
non-akademis tadi.
Cukup dengan sepotong cerita, Kyai Sahal merangkum 8 sifat seorang
pendidik (Mahmud Junus : 1961). Kasih sayang terhadap anak didik , lemah
lembut, rendah hati, menghormati ilmu yang bukan pegangannya, adil,
bersungguh-sungguh (termasuk membantu mencarikan jalan keluar atas maslah yang
dihadapi murid), konsekuen (perkataan sesuai dengan perbuatan), dan sederhana.
Dan salah satu bentuk kasih sayang yang tulus – karena tak ada celah
untuk riya’ adalah saling mendoakan. Seorang guru tak cukup hanya mengajar
dengan baik, disela-sela keheningan malam ia mendoakan anak-anak didiknya agar
ilmu yang diajarkan memberikan kemanfaatan , kemaslahatan, dan keberkahan.
Demikian pula murid tak cukup belajar dengan rajin tapi juga tak pernah
lupa mendoakan guru-guru mereka agar dikaruniai kesehatan, hikmah, dan
kesabaran sehingga mampu mengajar dengan baik.
Betapa indah jika hubungan cerdas dan penuh kasih sayang ini kembali
ditradisikan. Betapa kita rindu guru dan murid yang sama-sama rendah hati,
saling menghormati, dan saling mencintai. Hubungan guru-murid bukan sekedar
hubungan lahir tapi juga hubungan batin, hubungan cinta karena Allah.
Akhirul kalam, menarik kita simak cerita David K. Hatch dalam Everyday
Greatness (2007). Konon, seorang professor meneliti sebuah kampung yang sangat
kumuh. Ia punya hipotesis bahwa anak yang hidup dikawasan kumuh hampir tidak
ada yang akan sukes.
Mereka akan menjadi sampah masyarakat, masa depan mereka bakal terpuruk
lantaran dibesarkan di lingkungan buruk. Saat dewasa , biasanya mereka
kebanyakkan menikmati kehidupan di penjara.
Setelah berjalan 25 tahun , sang profesor sosiologi terkejut meihat hasil survey yang
dilakukan bersama mahasiswanya itu. Hipotesisnya meleset. Kenyataannya, anak
yang tumbuh lingkungan kumuh tidak hidup sebagai kriminal dan pesakitan. Dari
190 orang yang dulu diwawancarai itu , hanya 4 orang yang masuk penjara. Semua
hidup normal dan hidup berhasil diberbagai bidang.
Setelah dilakukan penelitian ulang, ternyata ada sebuah fenomena yang
membuat profesor itu tersadar. Dan dia menduga pasti ada sosok dalam hidup
mereka yang bisa mengubah kondisi umum ini. Dia kemudian mencari tahu siapa
orang yang berhasil member inspirasi dalam hidup mereka. Hampir semua anak –anak
itu sangat mengingat sosok seorang guru SMP mereka, Bu Chrysan.
Sang professor penasaran dan mendatangi BU Chrysan. Profesor itu
menyanyakan apa rahasianya hingga Bu Chrysan bisa membawa perubahan hidup yang
luar biasa bagi murid-muridnya , anak-anak lingkungan kumuh itu.
Sosok tua yang sederhana itu terdiam lama. Dengan senyum mengembang, ia
pun menjawab, “Yang saya tahu, saya hanya mendidik mereka dengan cinta, dan
saya sangat mencintai mereka “.
Begitulah. Cinta memang mampu megetarkan dan menggerakkan. Cinta – kata
ulama’ klasik – bisa mengubah logam menjadi emas.
Guru yang baik hanyalah serupa bidan yang dengan penuh kasih bertugas
membantu proses kelahiran “Sang Guru Sejati”, yaitu akal budi
dan hati nurani setiap manusia itu sendiri.
Wallahu ‘alam Bhisawab
No comments:
Post a Comment