Dasbor"SIRAMAN RUHANI"
SHOLAT
DAN KESALEHAN SOSIAL
“
Ketaatan Ritual harus melahirkan kesalehan sosial ”..
Sebagai salah satu
pilar islam dan tiang pancang bagi tegaknya agama, sholat disebut pada banyak
ayat Al-Quran. Diantaranya, QS. Al-Baqarah : 3 menyatakan bahwa mendirikan
sholat, iman kepada yang ghaib dan menafkahkan sebagian rezeki, merupakan cirri
orang bertaqwa. .
QS. Al-Baqarah 45 dan 153
memerintahkan untuk memohon pertolongan kepada Allah dengan sabar dan
mendirikan sholat. Dalam ayat ini juga ditegaskan bahwa mendirikan sholat
sebagai sarana memohon pertolongan kepada Allahn itu sungguh berat, kecuali
bagi orang-orang yang khusyuk.
Dalam QS. AlBaqarah :83, perintah mendirikan sholat disertakan dengan
perintah menyembah hanya kepada Allah, berbuat baik pada kedua orang tua , kaum
kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, mengucapkan kata-kata yang
baik kepada sesame manusia dan menunaikan zakat.
QS. Al-Baqarah :177 menyertakan sholat dengan kewajiban beriman kepada
Allah, hari kemudian, para malaikat, kitab-kitab, para nabi, memberikan harta
yang dicintai kepada kerabat, anak yatim, orang miskin,musafir yang memerlukan
pertolongan dan orang-orang yang meminta-minta ; memerdekakan hamba sahaya,
menunaikan zakat, menepati janji, sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam
peperangan. Ayat ini memberi pelajaranbahwa kebajikan sejati terdiri dari dua
unsure : tashawwur dan suluk.
Baca Juga "Apakah Lailatul Qadar Bisa di Buktikan"
Baca Juga "Apakah Lailatul Qadar Bisa di Buktikan"
Tashawwur adalah pemahaman yang benar dan penghayatan. Dalam hal ini,
beriman kepada Allah, Hari kemudian, Malaikat kitab, dan Nabi merupakan cermin
dari tashawwur. Sedangkan Sulu adalah tindakanlanjut dan perilaku berupa
kesalehan sosial. Dalam hal ini, memberi harta yang dicintai kepada kerabat,
anak – anak yatim, orang-orang miskin, ibn al sabil dan seterusnya merupakan
perwujudan dari suluk tersebut ayat ini mengguratkan bahwa kebajikan sejati
(birr) adalah terpenuhinya kedua unsure itu.
QS. Al-Baqarah :238 menyuruh memelihara sholat dengan khusyuk. Dalam
hal QS. An-Nisa :142 dijelaskan bahwa orang yang munafik jarang melaukan sholat
dan seandainya pun sholat maka sholatnya bercirikan malas dan riya’. Dalam QS.
Hud : 87 diceritakan bahwa kaum nabi Syu’aib yang membangkang berkata kepada
beliau, “Apakah sholatmu yang menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang
disembah oleh bapak – bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang kami
kehendaki tentang harta kami,,?. Mereka, seperti kata At-Thabari, hendak
mengatakan, “Ini adalah harta kami.
Kami berhak melakukan apa saja yang yang kami inginkan terhadap harta
ini. Kami bisa mengambil sebagiaannya atau mengolahnya atau bahkan membuangnya”.
Syu’aib menolak pola pikir egois mereka. Benar-bahwa harta itu milik mereka.
Tetapi dari sudut pandang sosial mereka tidak memiliki hak dan untuk
mempermainkan timbangan dan takarannya, sebab itu merugikan orang lain. Dengan
kata lain pengakuan atas kepemilikkan pribadi tidak berarti setiap orang
mempunyai kebebasan mutlak. Yang ada adalah kebebasan yang dibatasi oleh kemaslahatan
umu.
Baca Juga "Alasan Berjamaah di Masjid"
Baca Juga "Alasan Berjamaah di Masjid"
Dalam QS. Al-A’raf :85 dikisahkan bahwa Nabi Syu’aib menyuruh kaumnya
untuk menyembpurnakan takaran dan timbangan setelah menyuruh mereka menyembah
Allah. Hal ini menunjukkan bahwa makna ibadah menyakup kejujuran dalam
bermuamalah (interaksi sosial), tidak terkecuali kejujuran dalam hal takaran
dan timbangan (dunia bisnis).
Diantara kaum Nabi Syu’aib orang-orang yang mempermaikan harta milik
pribadi seenaknya sehingga merugikan orang lain adalah para pembesar,
orang-orang kaya, dan para penjabat yang tidak punya tujuan hidup selain
mengumpulkan harta dengan cara apa saja. Mereka tidak pernah segam mengorbankan
kepentingan umum demi kepentingan pribadi. Sementara itu, Syu’aib berjuang
mewwujudkan kemaslahatan dan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Seperti biasa, yang menolak ajaran yang diserukan Nabi Syu’aib adalah
mereka yang disebutkan Al-Quran sebagai al-mala’ ; kaum elite, para pembesar,
kalangan terkemuka, mereka yang punya kuasa dan harta.Mereka menantang Nabi Syu’aib
bukan hanya karena ia menyerukan menyembah Allah tetapi terutama karena ia
memerintahkan meninggalkan perbuatan – perbuatan yang bertentangan dengan
tuntunan iman kepada Allah seperti mengurangi takaran dan timbangan serta
kegiatan ekonomi lainnya.
Ajaran islam yang dibawa Syu’aib mengancam kepentingan pribadi
mereka.Maka berbagai cara mereka gunakan untuk melawan Syu’aib dan memberantas
ajarannya. Di lain pihak, sebagaimana digambarkan QS> AlA’raaf :88, kelompok
masyarakat yang oleh Al-Mala’ bisa dijuluki aradzil (orang-orang hina dan
rendah) antusias menyambut dakwah Syu’aib. Dan seperti biasa, guna membendung
pengaruh ajaran Syu’aib, al-mala’ mengancam, menindas, dan mengintimidasi para
aradzil.
Sementara itu, QS. Al-Jumu’ah : 10 menyatakan bahwa tawazun
(keseimbangan) merupakan salah satu cirri ajaran islam. Keseimbangan antara
pemenuhan tuntutan hidup dunia, seperti bekerja, banting tulang, beraktivitas
dan kasab, dengan keharusan mengasingkan ruh, menenangkan dan mensyunyikan hati
barang sesaat untuk berdzikir.
Sholat merupakan kebutuhan mendasar bagi kehidupan hati. Tanpanya ia
tidak akan sanggup memikul beban amanah yang amat besar. Zikir juga mutlak
harus ada dalam usaha mencari pemenuhan kebutuhan hidp. Merasakan kehadiran-Nya
membuat kegiatan pemenuhan kebutuhan hidup menjadi bernilai ibadah. Namun
demikian, perlu adanya watu tersendiri untuk melaukan dzikir murni, pengasingan
dan penyendirian yang total dari kehidupan dunia.
Sedangkan dari QS. Al-Ma’un :4-7 dapat ditari pengertian bahwa sholat
yang dilaukan secara lalai (asal-asalan), karena riya’ dan tidak melahirkan
kesalehan sosial, pelakunya mudah diancam kecelaaan. Surah Al-Kautsra : 2
menegaskan apa yang sudah berulang kali dikatakan bahwa ketaatan ritual harus
melahirkan kesalehan sosial. Pada ayat ini perintah mendirikan sholat
disertakan langsung dengan menyembelih hewan kurban, “Maka dirikanlah sholat
karena Tuhanmu dan berkurbanlah “. Yang pertama sebagai symbol ketaatan ritual,
sedang yang kedua merupakan salah satu manifestasi kesalehan sosial.
Lagi-lagi ini menegaskan bahwa ketaatan ritual harus melahirkan
kesalehan sosial. Surah, Al-Ma’un betapapun singkatnya, menolak ibadah yang formalistic.
Surah ini memandang bahwa menolong orang yang membutuhkan merupakan syarat
iman, sama seperti mendirikan aholat dan menjalankannya dengan khusyuk.
Ia juga mengancam orang-orang yang enggan menolong orang yang
membutuhkan dengan wayl (kecelakaan). Melalui Surah Al-Ma’un Al-Quran menamai
orang yang tidak memiliki kesalehan sosial sebagai orang yang mendustakan
agama. QS.Al-Ankabu :45 sangat tegas menyatakan adanya hubungan tak terpisahkan
antara sholat sebagai symbol ketaatan ritual dengan kesalehan sosial.
Wallahu ‘alam Bhisawab