“Adopsi termasuk perbuatan mulia.
Tetapi nasab anak adopsi tetap melekat pada orang tua kandungnya, bukan pada
orang tua asuhnya. Sehingga hukum waris mewarispun jalurnya hanya bisa pada
orang tua kandungnya.”
Sepasang
suami istri tentu sangat mengharpakan kehadiran seorang anak dirumah. Kehadiran
anak bisa makin mendatangkan keceriaan dan kebahagiaan rumah tangga. Tetapi
tidak sedikit orang yang sudah sekian lama berumah tangga, belum juga
diakruniai momongan.
Ini kerap terjadi menjadi keresahan
keluarga bahakan lebih dari itu bisa menjadi sebuah sumber maslah keretakkan
dalam rumah tangga. Baik dari pasangan suami istri itu sendiri maupun orang tua
dari kedua belah pihak yang segera ingin menimang cucu.
Tenanglah, tidak perlu bersedih !.
Tidak perlu resah !. Apabila tidak atau sulit memiliki momongan, Agama
membolehkan kok untuk mengangkat seorang anak. Adopsi namanya. Adopsi atau
mengangkat anak bisa menjadi solusi alternative penawar rindu akan hadirnya
seorang anak.
Adopsi bukan obat kerinduan saja
melainkan adopsi juga bagian dari amal shaleh. Karena termasuk menolong sesama,
terutama mereka yang sangat membutuhkan pertolongan, semisal anak dari keluarga
kurang mampu atau miskin. Anak tersebut jelas perlu diperhatikan kebutuhan
dasarnya, seperti makan, minumnya, sandangnya, juga pendidikan yang memadai.
Namun pembolehan adopsi ini ada
batas-batasnya.Tidak bisa dengan alasan saking sayangnya terhadap anak asuhnya,
lantas memperlakukan layaknya anak kandung dalam segala hal. Ada ketentuan yang
harus diperhatikan agar nantinya tidak jatuh pada perbuatan dosa.
BOLEH DAN TIDAK BOLEH
Kata Adopsi dalam islam dikenal dengan
istilah Tabanni. Dalam Kamus Al-Munawwir, kata tabanni mempunyai arti
mengambil, mengangkat anak atau mengadopsi.
Mengambil anak orang lain untuk diasuh adalah
hal yang sangat mulia dalam agama. Labih-lebih bagi pasangan yang memiliki
rezeki yang cukup namun belum mempunyai atau dikaruniai anak. Seperti
diketahui, kebanyakkan anak adopsi adalah anak yang punya latar belakang kurang
mampu.
Dengan mengadopsinya, maka anak
tersebut akan mendapatkan ‘hak’ – nya , baik yang sifatnya fisik (seperti;
makan, tempat tinggal, kesehatan) maupun non fisik (pendidikan, bimbingan agama
dan sebagainya). Dari dulu hingga sekarang, kebiasaan adopsi sudah biasa
terjadi. Hanya saja pada masa pra islam.
Anak adopsi statusnya disetarakan
dengan anak kandung sehingga nasabnya pun diubah mengikuti orang tua asuhnya,
tidak lagi ke nasab orang tua kandungnya. Semua hubungan nasab anak asuh, berpindah
ke orang tua asuh. Dengan begitu, mereka bisa saling mewarisi, bisa menjadi
mahram, bisa menjadi wali nikah dan sebagainya. Intinya, anak adopsi memiliki
hak dan hukum yang sama seperti halnya anak kandung.
Kebiasaan ini sudah baku di masyarkat
Arab. Begitu pun saat Rasulullah saw sebelum menjadi nabi mengambil Zaid bin
Haritsah (mantan budaknya) sebagai anak angkat, masyarakat Arab memanggil
dengan panggilan Zaid bin Muhammad. Padahal nama ayah kandungnya Zaid adalah Haritsah. Hingga keudian, Ibnu Umar
mengatakan :
“Kami tidak pernah memanggil Zaid bin Haritsah, namun Zaid bin Muhammad, sampai
Allah menurunkan firman – Nya di surat Al-Ahzab ayat 5 “. ( HR.Bukhari). Bunyi
ayat tersebut artinya, “Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan
(memakai) nama bapak-bapak mereka ; itulah yang lebih adil disisi Allah swt,
dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, panggilah mereka sebagai
saudara saudaramu seagama atau maulamu. Tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang
kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu.
Dan Allah Maha Mengampun lagi Maha Penyayang “.
Dengan turunya QS. Al-Ahzab ayat 5 ini
sekaligus menghapus perlakuan adopsi yang sudah kebablasan. Anak angkat yang
dulu dinasabkan ke orang tua asuh , kemudian nasabnya harus tetap melekat pada
orang tua andungnya. Termasuk juga tidak berlaku hubungan saling mewarisi,
tidak bisa menjadi mahram, dan wali nikah. Pengertian adopsi yang terakhir
(tidak ada hubungan nasab antara anak asuh dan orang tua asuh). Inilah yang
dibenarkan dalam agama.
Sehingga bila disimpulkan, adopsi atau
tabanni itu ada yang diperbolehkan dan ada yang tidak diperbolehkan. Selagi
tanpa memberi status anak kandung kepada anak asuh tersebut, maka hal ini sah
dilakukan.
Sebaliknya jika orang tua asuh sudah
menganggap anak adopsi tersebut sebagai anak kandung yang bisa mewarisi ,
bagian dari mahram , dan nasab ke orang tua asuhnya, maka hal ini bertentangan
dengan ajaran agama.
Jangan Mengubah Nasab
Hadits dan QS. Al-Ahzab : 5 di atas
merontokkan anggapan bahwa anak asuh sama statusnya dengan anak kandung status
hukumnya. Perlakuan dalam hal pengasuhan dan perawatan anak asuh memang bisa
diperlakukan seperti anak sendiri, tetapi perlakuan dalam hal-hal tertentu yang
menyangkut dengan hubungan nasab dan mahramnya tidak bisa disamakan.
Betapapun cinta dan sayangnya terhadap
anak asuh, ia tidak bisa memasukkan sebagai bagian dari anak kandungnya.
Keduanya tidak terikat pertalian darah sama sekali. Hubungan yang ada adalah
hubungan sesama manusia yang satu punya kepedulian terhadap orang yang lain
dengan cara menjadikan seorang anak untuk diasuh, dirawat, dibimbing, dibekali
pendidikan layaknya anak sendiri.
Terkait adopsi ini sudah termasuk dalam
hukum positif di Indonesia. Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 171 hurf h KHI
menyatakan bahwa yang dimaksud anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan
untuk hidupnya sehari-hari , biaya pendidikan dan sebagainya, beralih tanggung jawabnya
dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga
sudah menfatwakan soal adopsi. Fatwa itu merupakan salah satu hasil Rapat Kerja
Nasionalis MUI pada Maret 1984, diamana salah satu butirnya pertimbangannya
adalah silam mengikuti keturunan nasab yang sah, yaitu anak yang lahir dari
perkawinan. MUI memandang, mengangkat anak tidak lantas mengubah status nasab
dan agamanya.
Sebab Rasulullah saw sendiri
mencontohkan tetap mepertahankan nama ayah kandung Zaid, yakni Haritsah di belakang
nama Zaid dan tidak lantas mengubahnya dengan nama bin Muhammad.
Pun dalam Munas Alim Ulama di
Situbondo, Jawa Timur pada tanggal 21 Desember 1983, para ulama NU menfatwakan
bahwa mengangkat anak orang lain untuk diperlakukan, diakui sebagai anak
sendiri hukumnya tidak sah.Pegangkatan anak tidak bisa menjadikan anak itu
sederajat dengan anak sendiri didalam nasab mahram maupun waris.
Seperti tidak dibenarkan jika anak
tersebut sudah baleq diperlakukan seperti anak sendiri karena biar bagaimanapun
dia bukanlah mahram. Terus, kalau orang tua asuhnya meninggal , lantas anak
asuhnya dianggap bisa mendapatkan warisan, itu juga tidak benar. Anggapan
tersebut sangatlah keliru.
Terlarang pula saat anak asuhnya
(perempuan) menikah, ayah asuhnya menjadi walinya. Larangan keras mengubah
nasab anak asuh menjadi anak sendiri ini pernah ditegaskan oleh Rasulullah saw,
dalam hadits dari Sa’id , Nabi saw mengatakan, “Siapa yang mengaku anak
seseorang sementara dia tahu bahwa itu bukan bapaknya maka surga haram untuknya
“. (HR. Bukhari).
Kesimpulannya, islam melarang pemberian
status nasab anak asuh sama persis dengan anak kandung. Sebab selain dapat
menguburkan status seseorang, juga ada unsur memalsukan asal-usul seorang anak,
sehingga status orang lain (ajnabi) biasa hilang dan menjadi mahram.
Sehingga dengan demikian, hubungan anak
angkat dengan orang tua asuh tetap seperti sebelum diadopsi yang tidak
mepengaruhi kemahraman dan kewarisan.
( Berbagai Sumber)