Dasbor "Kisah Nabi & Sahabat"
ORANG BAIK, DARI
KETURUNAN YANG BAIK
“Firasat mukmin sejati tak bisa diremehkan begitu
saja.Kadang ia bisa “membaca” sesuatu yang orang lain pada umumnya tidak pahami
”.
Pada tahun 149 hijriah, Syaqiq al-Bakri, seoramg alim berangkat ke
Baitullah untuk menunaikan haji. Namun ditengah perjalanan, ia berhenti
sebentar di kota Qadisiyah bersama rombongannya. Dalam hiruk pikuk ditempat
persitirahatan, Syaqiq memperhatikan orang-orang hilir mudik dengan pakaian
mereka yang beragam corak.
Tiba-tiba pandangannya tertuju pada seorang pemuda. Wajahnya cerah
bercahaya, menampakkan pesona dan kharisma. Seluruh tubuhnya dikerubungi karung
goni yang kasar. Kakinya pun mengenakan terompah kayu. Pemuda ini duduk
sendirian tersisih dari orang – orang yang cukup ramai.
Dalam, hati Syaqiq berkata bahwa si pemuda itu pastilah berpura-pura
menjadi seorang sufi. Tentu nantinya ia akan menjadi beban atas orang lain.
Terbersit di hati Syaqiq untuk menguji pemuda itu. Jika ketahuan, Syaqiq akan mencela
dan mengkritik tajam atas sikapnya yang berpura-pura.
Namun, tatkala Syaqiq mendekati , tiba-tiba ia mendengar pemuda itu
berkata, “Hai Syaqiq ..! Tidakkkah kau tahu bahwa Allah swt telah berfirman
dalam kitab-Nya yang mulia, ‘Hai orang-orang yang beriman jauhilah buruk sangka
(terhadap orang lain) karena setengah dari buruk sangka itu berdoa”. (QS.
Al-Hujurat ayat :12).
Setelah mebacakan firman itu, pemdua tersebut lalu bangun dan beranjak
dari tempatnya. Tentu saja Syaqiq tersinggung dengan perkataan pemuda tadi.
Tapi, ia sendiri bingung, entah dari mana dia dapat membaca isi hatinya.
Sungguh ajaib. Dia mengetahui nama Syaqiq, padahal Syaqiq sendiri sama sekali tidak pernah bertemu dengannya.
Syaqiq yakin, pastilah ini perkara besar. Tentu pemuda itu salah seorang salih
yang termasyhur.
Merasa ingin mengenal lebih jauh, Syaqiq segera mengejarnya dari
belakang. Tapi rupanya dia lebih cepat dari Syaqiq. Sampai iapun tidak lagi
dapat menemuinya.
“Kemanakh dia menghilang diantara kerumunan orang di situ”, batin
Syaqiq.
Gagal menemui pemuda tadi, Syaqiq pun segera melanjutkan perjalanan
bersama rombongan dari Qadisiyah menuju Arafat. Begitu sampai disana tanpa
diduga, untuk kedua kalinya ia bertemu dengan pemuda itu. Kali ini Syaqiq
melihat kalau dia sedang kyusuk mengerjakan sholat. Sementara anggota-anggota
badan yang bergoncang dan air matanya mengalir.
Syaqiq terharu. Ia pun berusaha mendekati pemuda itu dan duduk didekatnya
, menunggu dia selesai sholat. Syaqiq kagum. Dalam hati ia berkata bahwa pemuda
itu sangat khusuk sholatnya.
Begitu sholat selesai pemuda itu pun lalu menoleh kearah Syaqiq dan
berkata , “Hai Syaqiq, bacalah firman Allah dan sesungguhnya Aku (Allah) adalah
Maha Pengampun kepada siapa saja yang kembali kepada-Ku, beriman kepada-Ku ,
mengerjakan amal shalih, kemudian dia mencari jalan yang benar”. (QS. Thaha
ayat :82).
Dalam hati Syaqiq terus merenung membaca firman tersebut. Sementara
seperti biasa, kali ini pemuda tersebut telah menghilang lagi. Bahkan Syaqiq
sangat kerepotan mencarinya, mengingat begitu ramainya orang hilir mudik.
Tapi begitu Syaqiq ada di Mina, lagi-lagi Syaqiq menjumpainya. Kali ini
dia pergi mengambil sebuah teko, ditangannya ada bekas mengambil air. Syaqiq
segera mendatanginya. Pemuda itu lalu mengulurkan tangannya untuk mengambil
air.
Sementara air agak jauh sedikit untuk dijamah tangan. Tidak
disangka-sangka bekas itu terlepas dari tangannya lalu jatuh kedalam wadah.
Entah apa yang akan dilakukan saat itu. Pemuda itu malah langsung mengangkat
kepalanya kearah langit seraya memohon.
Kepada Engkau aku kembali jika aku merasakan kehausan.
Daripada-Mu juga aku meminta makanan bila kau merasakan kelaparan.
Ya Allah Tuhanku. Aku tidak punya bekas selainnya, jangan engkau ambil
dia dari tanganku..!.
Begitu selesai memanjatkan dia, ajaib wadah berisi bekas telapak tangan
dia (pemuda itu) berangsur naik, seolah ada mata air yang sedang mengisinya
dari bawah.Pemuda itu lalu mencelupkan tangannya kedalam air wadah itu dan
mengeluarkan bekas yang jatuh kedalam air tadi. Dia lalu meminum air itu
sepuas-puasnya, mengambil wudhu kemudian berdiri sholat empat rakaat.
Usai sholat ia lantas mengeggam pasir dari tempat itu , dan dibubuhnya
kedalam bekas itu serta dikocok – kocoknya dengan air yang ada didalam bekas
itu, lalu diapun meminumnya
Sungguh Syaqiq terkagum-kagum
oleh ulah si pemuda itu. Takjub bukan main terhadap apa yang telah diperbuat
pemuda itu. Dia minum apa yang ada dalam bekas itu setelah Syaqiq lihat pemuda
itu membubuhkan segenggam pasir.
Syaqiqi lantas memutuskan untuk mendekatinya dan berkata, “Berilah aku
sedikit rezeki yang diberikan Allah kepadamu..!
Syaqiq penasaran ingin tahu banyak apa sebenarnya didalam bekas yang
dimakan pemuda itu. Pemuda itu pun lantas menoleh kearah Syaqiq. Namun
tatapannya seolah berkata bahwa sesuatu tengah terjadi pada diri Syaqiq.
“Wahai Syaqiq nikmat Allah itu terlalu banyak yang diberikan kepada
kita, baik yang nampak ataupun tidak. Bersihkanlah hatimu jangan pernah
menduga apa-apa !”.
Pemuda itu lalu memberi Syaqiq bekas itu dan minumannya. Rasanya
seperti bubur sawiq yang manis dan enak serta baunya harum pula. Syaqiq senang
bukan main. Apalagi rasa bubur sawiq yang dimakannya itu lezat tak terkira.
“Demi Allah, aku belum pernah merasakan bubur sawiq yang begitu lezat
seumur hidupku seperti yang sedang aku makan kini. Aku terus mencium bubur itu
sampai aku merasa kenyang. Bahkan rasa kenyang diperutku terasa dan tahan
berhari-hari, sampai – sampai aku tidak mengingginkan makanan lain saat itu”,
batin Syaqiq.
Setelah kenyang dan puas , Syaqiq pun mengembalikan bekas tangan pemuda
itu. Si pemuda lalu pergi. Seperti yang sudah – sudah , kali ini tak kelihatan
batang hidungnya sampai berada di Mekkah.
Pada salah satu malam di Mekkah , sekali lagi Syaqiq melihat pemuda itu
di pinggir kubah air zam-zam. Dia sedang berdiri menunaikan sholat penuh
khusuk. Rentang waktu sholatnya lama sekali. Hingga Syaqiq mendengar suara
keluh kesah dan suara tangisannya yang sungguh-sungguh memilukan siapa saja
yang berada disampingnya.
Pemuda itu pun terus sholat , rakaat demi rakaat. Sampai muncul waktu
fajar, barulah dia berhenti. Kemudian disambung pula dengan tasbih dan
berdzikir.
Tatkala waktu subuh tiba, pemuda itu turut berjamaah dengan rombongan
Syaqiq. Selepas subuh, dia lalu thawaf mengelilingi Ka’bah tujuh kali putaran.
Kemudian dia menepikan dirinya dari tempat thawaf menuju ke suatu tempat di
pinggir masjid.
Syaqiq penasaran dan mengikutinya dari belakang untuk melihat apa yang
akan diperbuatnya setelah itu. Syaqiq melihat dia duduk dan orang-orang banyak
mengelilinginya. Syaqiq menduga, mereka mungkin para pengikut dan
pengawal-pengawalnya.
Orang-orang tersebut ternyata datang dari berbagai tempatdan mereka
bertemu setiap tahun disana. Sebab dalam perjalanan menuju Baitullah, Syaqiq
tidak melihat seorang pun dari mereka dalam rombongan.
Syaqiq lalu ikut duduk di situ mengelilinginya. Sementara orang-orang
semakin ramai berdatangan membanjirinya dari arah masjid itu. Rasa penasaran
Syaqiq akan siapa gerangan pemuda itu sebenarnya semakin menjadi. Selama ini
Syaqiq telah menjumpai bermacam-macam keanehan terjadi pada pemuda itu. Namun
tidak terlintas sedikitpun dalam benaknya untuk bertanya siapakah gerangan
dirinya (pemuda itu).
“Wahai saudaraku, boleh aku bertanya sedikit,,? Syaqiq menghampiri
salah seorang yang mengerumuni pemuda itu.
“Boleh”
“Siapa sebenarnya pemuda ini..? tanya syaqiq.
“Kau belum tahu..?”.
Syaqiq menggeleng-gelengkan kepala, tanda bahwa ia belum tahu.
Dia adalah Musa bin Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin
Abu Thalib”, jawab lelaki yang ditanya Syaqiq seraya tersenyum.
‘Oh dari keturunan Ali Zainul Abidin bin Husain”.
Semoga Allah menurunkan rahmat dan berkah dari mereka sekalian serta
mengkaruniakan manfaat bagi kita didunia dan akhirat Aamiin.
(Dinukil dari Anisul Mukminin / Hiburan Orang Mukmin /
Shafwak Sa’dallah al-Mukhtar. Penerjamah H. Salim Basyarahil. Gema Insani
Press, 1996).
(dari berbagai sumber)